6. Aku Akan Membuat Kita Menjadi Akrab

13 4 1
                                    

Untuk sebagian orang, udara malam adalah yang terbaik di saat rumah hanya mampu menyuguhkan sesak.

- About Home -

•••

Tanganku bergerak di atas kertas—membentuk tulisan abstrak—sejalan dengan pikiranku yang semrawut. Kini, seluruh keluargaku terasa begitu asing. Tidak ada tegur sapa satu sama lain atau semacamnya. Kami bahkan hanya sekedar saling melirik jika tak sengaja berpapasan di dapur atau di ruang tengah. Rasanya benar-benar tidak nyaman berada di zona seperti ini.

Kanaya menghampiriku dengan segelas milk tea di tangannya. "Cemberut mulu, heran," protesnya sambil menyodorkan milk tea tersebut kepadaku.

"Makas—"

"Syuuut ...!!" Kanaya mengarahkan telunjuknya ke depan bibirku, dramatis. "Aku butuh bantuanmu," katanya, membuatku menggerling. Gadis itu mendekatkan mulutnya ke arah telingaku, membisikkan sesuatu yang membuatku menghela napas.

"Bantuin, ya, Za? Please ..." mohonnya. Jika saja Kanaya bukan sosok yang selalu bersedia saat aku meminta bantuannya, aku tidak akan menyetujui ini.

"Mana kadonya?" Aku mengulurkan tangan, membuat Kanaya berjerit senang karena aku menyanggupi permintaan tolongnya. Sebuah kotak berukuran tidak lebih dari 10×10cm itu Kanaya berikan kepadaku.

"Kalo bukan kamu yang nyuruh, gak bakalan aku mau jadi Mak Comblang kayak gini!" kataku sebelum pergi. Kanaya nyengir lebar di saat aku bahkan tidak tahu harus dengan cara apa aku memberikan kado ini.

Karena tak mau ambil pusing, akhirnya aku masuk ke kelas Gavin yang berada tepat di samping kelasku. Suasananya sangat sepi, mungkin karena ini masih jam istirahat. Mulutku menganga ketika melihat begitu banyak bentukan kado yang berserakan di atas mejanya. Apakah penggemarnya sebanyak ini?

Aku menatap kado kecil berhiaskan pita di tanganku, menimbang pilihan antara menyimpannya bersama kado-kado yang lain atau lebih baik memberikannya secara langsung? Lagipula, di mana pemilik meja ini? Menyusahkan saja! Kanaya bilang, aku harus memastikan bahwa kadonya sampai di tangan Gavin. Itu artinya, aku harus memberikannya secara langsung, bukan? Huh, sabar, Za! Sekali-kali, aku juga ingin disayang sama Allah lewat jalan bersabar.

"Kenapa balik lagi?" Seseorang menginterupsi langkahku di ambang pintu. Tubuh beraroma mint itu menjulang tinggi di hadapanku. Eum, mungkin tingginya hampir sama dengan Arsyad.

"Buat aku?" Gavin menunjuk kado yang kupegang. Tak mau basa-basi, aku mengangguk dan segera menyerahkan kado itu kepada pemiliknya.

Sebuah senyuman manis mengembang dari bibirnya. "Makasih hadiahnya—" Pria itu melirik badge yang menempel di kerudungku. "—Azalea," lanjutnya.

"Seseorang menyuruhku memberikan itu kepadamu."

Senyum yang sebelumnya mekar seindah bunga matahari itu, kini berubah seumpama kelopak mawar layu yang tak terurus. Aku memang cukup peka untuk menilai perasaan seseorang melalui otot-otot wajahnya. "Siapa?" tanya Gavin.

"Kamu akan menemukan jawabannya pada sepucuk surat yang tertempel di sana." Aku berlalu setelah mengatakan itu.

Di ambang pintu kelasku, Arsyad menunjukkan senyum mengejeknya dengan kedua tangan yang tenggelam di saku celana. Pria itu pasti sudah menyiapkan kata-kata untuk meledekku.

"Kemarin so' so'an gak mau salaman, sekarang malah ngasih kado? Seorang Azalea itu emang sesuatu banget, ya. Sikapnya gak bisa ditebak," cercanya. Kemarin, aku memang sempat mengabaikan tangan Gavin ketika hendak memperkenalkan diri. Bukan tanpa alasan, aku melakukannya karena dulu Gavin sendiri yang menolak berteman denganku. Entah pria itu masih mengingatnya atau tidak.

Luka dalam LikuDove le storie prendono vita. Scoprilo ora