7. Manusia Aneh. Apa Salahnya Berteman?

9 3 0
                                    

Berbicara tentang pertemanan, aku tidak pernah berani untuk memulainya. Entah itu karena merepotkan atau mungkin aku yang terlalu menyedihkan?

- About Home -

•••

Aku berjalan di koridor dengan mata setengah tertutup. Setelah pulang dari toko tadi malam, aku hanya punya waktu untuk menyeduh mie sebagai menu makan malam. Tepat pukul sebelas, aku mendapat pesan dari Bu Rani yang sudah menunggu di depan gang rumahku.

Sempat ingin meminta libur semalam saja, tetapi aku ingat bahwa tabungan untuk membawa si kembar jalan-jalan masih sangat sedikit. Aku sudah berjanji untuk membawa mereka berlibur bulan depan.

Seseorang menarik tas punggungku, hal yang membuat mata ini membelalak seketika dan hal pertama yang kulihat adalah hidung merahnya. "Kenapa? Mau ngomel?" tanya Arsyad—si pelaku—ketika melihat picingan mataku yang tajam. Tidak mungkin aku mengomel kepada orang yang baru saja menyelamatkanku dari pintu kelas yang terbuka. Aku hanya terkejut.

"Kenapa sekolah?" tanyaku mengalihkan topik. Suara dan wajah Arsyad sudah menjelaskan bahwa pria itu benar-benar sedang sakit. Apalagi matanya yang terlihat memerah.

"Mau numpang tidur di UKS," jawabnya.

Aku menghentikan langkah, lalu menghadap ke arahnya. "Ide bagus! Aku juga akan pura-pura sakit."

"Kenapa? Semalem gak tidur?"

Aku mengangguk. Di pertigaan antara tangga, jalan menuju lapangan dan koridor UKS, kami sama-sama memilih jalan lurus menuju UKS. Arsyad cekikikan sendiri ketika aku mendahuluinya masuk ke dalam ruangan yang diperuntukkan kepada orang sakit itu. Aku pun sakit, sakit mata hingga sangat sulit untuk membukanya.

•••

Bisingnya suara orang-orang diluar mengusik tidur nyamanku. Ketika memeriksa jam di ponsel, ternyata hari sudah menunjukkan pukul sepuluh, waktunya murid-murid istirahat. Ada beberapa pesan dan panggilan suara dari Kanaya yang menanyakan alasan aku tidak datang untuk sekolah. Hal kecil itu membuatku sedikit merasa diperhatikan meski hanya dari seorang teman. Aku bangkit, mengambil posisi duduk di tepi ranjang, lalu membenarkan kerudung yang sedikit berantakan.

Suara napas Arsyad terdengar sangat jelas. Selain karena dia sedang flu, jarak kami juga hanya dibatasi tirai. Karena itulah sebelum tidur tadi  aku tau bahwa pria itu menolak diobati meski hanya sebatas dikompres oleh penjaga UKS dan lihatlah sekarang. Pria itu memakaikan jaket dan selimut tebal meski keningnya dipenuhi keringat.

Aku berniat untuk pergi ke toilet sebelum menemui Kanaya di kelas, tapi suara pintu terbuka menghentikan niatku itu. Gavin datang dengan sebuah keresek kecil di tangannya. Tanpa mengatakan apa-apa, pria itu menyimpannya di nakas samping tempat tidur Arsyad. Sebungkus plester kompres mencuat dari sana.

"Gak sekalian pasangin kompresnya?" tanyaku kepada Gavin yang sudah hampir mencapai pintu. Untuk sekarang, aku mempunyai sedikit rasa kasihan kepada pria yang terbaring di depanku ini.

"Kenapa kamu di sini?" Dia balik bertanya. "Sakit?" lanjutnya. Tidak ingin mengatakan 'bolos' secara terang-terangan, aku lebih memilih diam. Lagipula, dia juga tidak menjawab pertanyaanku.

Melanjutkan aksi 'sedikit merasa kasihan'-ku kepada Arsyad, aku membuka plester kompres yang tergeletak di atas nakas. Tiba-tiba Gavin berjalan ke arahku dan menempelkan telapak tangannya di keningku. Secepat mungkin aku menepis lengannya untuk menegaskan bahwa aku tidak termasuk kepada siswi lain yang akan merasa senang diperlakukan seperti itu olehnya.

"Jangan seenaknya!" Kami saling tukar pandang dengan alis masing-masing yang bertaut dalam. Sedetik kemudian Gavin merebut plester kompres di tanganku, lalu menempelkannya di kening Arsyad tanpa minat.

Luka dalam Likuحيث تعيش القصص. اكتشف الآن