5. Ruang di Pikiranku Semakin Sesak

19 4 6
                                    

"Kenapa? Kenapa aku tidak boleh marah sedangkan Papa selalu mendidikku dengan amarah sedari dulu?"

- About Home -

•••

Sudah tradisi bagi ekskul mading untuk berkolaborasi dengan ekskul yang lain dan sekarang adalah gilirannya menjadi mitra ekskul IREMA. Arsyad yang ternyata adalah ketua ekskul mading berdiri tepat di samping Gavin, si ketua ekskul IREMA.

Namun, ada yang salah dengan suasananya. Tampak horor bukan main. Entah karena mereka adalah lawan tim sepak bola, atau ada hal lain yang membuat keduanya terlihat tak bersahabat. Setelah beberapa menit diisi kekosongan, akhirnya Gavin membuka kumpulan antar dua ekskul ini dengan pembacaan doa dan perkenalan singkat. Setelahnya, pria itu membiarkan Arsyad yang mengambil alih untuk menjelaskan bagaimana kolaborasi ini akan berlangsung.

Tema yang diambil kali ini adalah 'Tontonan yang Menuntun tapi tidak Monoton'. Mereka menjelaskan alasan mengambil tema ini yaitu karena banyaknya tontonan kaum milenial yang justru menuntun kepada keburukan. Berhubung ekskul IREMA identik dengan keagamaan, jadilah kami menyusun rangkaian tema madingnya berlandaskan ilmu agama Islam.

Setelah pembagian kelompok, mencari sumber tontonan yang menarik, tidak membosankan dan berisi konten positif adalah tugas kelompokku, di mana di dalamnya terdapat tiga orang lainnya yang salah satunya merupakan wakil ketua ekskul mading, Aleeya namanya. Terlihat sekali bahwa gadis itu sangat berpengalaman di bidang ini. Eum, maksudku bidang tulis-menulis.

Oh iya, dia juga berada di kelasku. Namun, kami tidak pernah bertegur sapa. Sama sekali. Bukan hanya dengan Aleeya, aku juga tidak pernah bertegur sapa dengan teman sekelasku yang lain. Selain Kanaya, tentunya.

Berbicara tentang gadis itu, lihatlah betapa bersinar wajahnya karena secara kebetulan dia berada di kelompok yang sama dengan Gavin. Aku tidak tau apakah rasa Kanaya hanya sebatas kagum, atau dia benar-benar serius dengan perasaannya. Tapi yang pasti, aku bisa merasakan kebahagiaan Kanaya saat sesuatu yang baik terjadi antara dia dan Gavin.

•••

"Kak Za, bantu aku belajar. Besok lusa ada ulangan harian matematika di sekolah." Kaiza tak berhenti merengek, padahal aku baru saja selesai mencuci piring setelah pulang sekolah tadi.

"Sama Faiza aja. Kak Za gak pandai matematika," tolakku.

"Kak Fa gak ada di rumah. Dia langsung pergi setelah pulang sekolah tadi."

Faiza. Sejak dia pulang sore waktu itu, Faiza sering pergi ke luar rumah. Jika tidak sehabis asar, maka dia akan pergi sepulang sekolah. Gadis itu bahkan sering bolong sekolah agama karenanya. Setiap kali ditanya 'dari mana?' dia selalu menjawab 'dari rumah temen'.

"Kalo gak bisa ajarin Kai, ayo kita pergi ke perpustakaan untuk meminjam buku. Biar Kai belajar dari buku saja," kata Kaiza. Berbeda dengan kakak kembarnya, Kaiza lebih unggul dalam bidang olahraga. Jika masalah akademik, otaknya sangat minimalis.

Karena kasihan jika membiarkan Kaiza pergi sendiri, akhirnya aku menyetujui ajakannya. Sekalian mencari referensi untuk cerpen, pikirku. Lagipula, jarak perpustakaan kota dari rumahku bisa ditempuh hanya dengan sekali naik angkot. Oh iya, cerpen yang kumaksud adalah tugas Bahasa Indonesia.

"Nanti ketemu di meja sini, ya!" Aku memperingati Kaiza karena kami akan berpencar untuk mencari buku masing-masing. Saking jarangnya aku pergi ke perpustakaan kota, mencari jajaran buku novel saja aku kebingungan. Justru komik dan buku islami yang sering kutemukan di rak-rak dekat sini. Mungkinkah ini kode supaya aku mempelajari ilmu agama lebih jauh? Eum, sebentar.

Luka dalam LikuDonde viven las historias. Descúbrelo ahora