16. Kakak?

7 1 0
                                    

Kurasa ini adalah salah satu part terindah dalam hidup, dimana kami mengukir tawa bersama setelah sekian lama. Meskipun ritme jantung masih tidak karuan dan seluruh tubuh penuh dengan lebam.

• Luka dalam Liku •

•••

Aku berjalan di koridor sekolah dengan tatapan kosong. Sepertinya pikiranku tertinggal di rumah bersama kalimat-kalimat Faiza yang begitu menusuk. Aku ingin membuat si kembar bangga memiliki seorang kakak perempuan sepertiku disaat kedua orang tua kami tidak bisa diharapkan. Namun, akulah yang membuat mereka malu. Aku bodoh dan tidak mempunyai prestasi dan yang kulakukan hanyalah berkeliaran di tengah malam untuk mendapatkan uang yang tak seberapa. Ternyata, selama ini yang kupikirkan hanyalah uang untuk memenuhi semua yang dibutuhkan Faiza dan Kaiza. Faiza marah karena aku tidak mempunyai sesuatu yang bisa menunjukkan harga diriku seperti prestasi dan kemampuan dalam bidang tertentu.

Di tengah lamunan itu, seseorang datang sambil menggerak-gerakkan telapak tangannya di depan wajahku. Aku mendongak dan menemukan wajah Gavin yang terlihat lebih ceria dari hari-hari sebelumnya. "Lagi mikirin apa, sih?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Bukan apa-apa."

Selagi berjalan bersisian dengan Gavin pagi ini, aku kembali mengingat ucapannya tadi malam. Tempo langkahku semakin lambat, kemudian berhenti dan memutar tubuh untuk bisa berhadapan dengan Gavin. "Apa menurutmu aku bisa mengejar ketertinggalan jika mulai belajar lagi? Apa aku bisa seperti dulu lagi?" Aku langsung mengajukan dua buah pertanyaan, membuat Gavin menyilangkan kedua tangannya di depan dada dengan mata menyipit, seolah sedang berpikir keras.

"Kurasa tidak akan mudah untuk mengalahkanku seperti dulu, tapi mari kita coba saja." Aku mendelik melihatnya menyombongkan diri.

"Nggak jadi, lupain aja!" Aku berjalan meninggalkannya. Hal bodoh apa yang baru saja aku katakan? Mulai belajar dan mengejar ketertinggalan disaat hampir semua waktuku tersita untuk menghasilkan uang dan mengurusi pekerjaan rumah?

"Moody-an banget sih, ini anak satu!" Pria yang pagi ini terkesan over-smile itu menarik hidungku. Alisku bertaut, kesal. "Hih!" Aku mengusap hidung, menghilangkan jejak jari Gavin di sana. 

"Temui aku di samping gudang saat istirahat nanti."

"Aku harus menyelesaikan pembuatan komik bersama Arsyad."

"Em, kalo gitu istirahat kedua!" Dia pergi setelah mengatakan itu, tanpa memberiku kesempatan untuk menolak.

Sebagian dari diriku tidak ingin melakukannya, tetapi perkataan Faiza kembali mendesakku untuk menjadi seorang saudari yang bisa dibanggakan. Karena itulah aku benar-benar datang menemui Gavin di tempat yang sebelumnya ia katakan. "Ta-da!" Pria itu menyambutku dengan sebuah tas jinjing kecil berisi peralatan belajar.

"Apa-apaan ini?" Aku membukanya. Ada banyak alat tulis seperti pensil, bolpoin dan apa ini? Bahkan ada kalkulator?

"Hadiah untukmu," kata Gavin sembari membuka buku catatan tebal miliknya. "Kita mulai dengan pelajaran Fisika hari ini."

Berhari-hari kulalui dengan kesibukan gila ini. Aku pergi ke sekolah setelah menyelesaikan pekerjaan di rumah, lalu berusaha menahan kantuk selama kelas berlangsung. Ketika bel istirahat pertama berbunyi, aku harus bergegas menuju toilet untuk mencuci wajah sebelum berkutat dengan pentab dan ocehan Arsyad yang mengatakan bahwa dia bisa menggambar sebaik aku setelah memperhatikan caraku menggambar komik. Pada jam istirahat kedua aku juga harus mendidihkan otak dengan godaan kantuk yang luar biasa. Untung saja Gavin selalu sigap untuk membuatku fokus pada pelajaran.

Luka dalam LikuUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum