2. Hal yang Akan Kusesali di Masa Depan

27 5 5
                                    

Pernah merasakan patah hati oleh seorang pria yang begitu kalian cintai? Percayalah, dipatahkan berkali-kali oleh pria yang diyakini banyak orang sebagai cinta pertamanya lebih menyesakkan.

- About Home -

•••

Suara bising antara alat makan yang saling beradu terdengar sepanjang malam. Dari mulai pukul delapan tadi, Rumah Makan benar-benar kewalahan oleh pesanan. Aku yang sebelumnya ditugaskan untuk mencuci alat makan yang kotor, kini merangkap menjadi pengantar pesanan ke meja pelanggan. Tidak ada yang berleha-leha di sini, semuanya bekerja.

Tiga jam sudah berlalu semenjak kesibukan padat ini dimulai dan aku belum makan malam. Semoga saja pelanggan cepat surut. Tetapi, rasanya tidak memungkinkan, terlihat dari meja Rumah Makan yang terisi semua. Belum lagi pelanggan take away.

"Selamat menikmati," kataku setelah menyajikan pesanan di meja makan.

Saat hendak kembali ke dapur, seseorang menahan pergelangan tanganku. Aku memejamkan mata sekejap, sudah menduga bahwa hal semacam ini akan terjadi. Sekumpulan pemuda di meja ini memang terlihat sangat tidak sopan dari tampang mereka. Kutarik tanganku dengan cukup keras karena cekalannya kuat sekali.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyaku. Dia malah tertawa sumbang.

"Kayaknya lo yang butuh bantuan." Pria itu mendongkak, menatapku yang masih berdiri dengan nampan yang sudah kosong.

"Tidak, saya permisi." Aku segera berbalik, enggan berurusan lebih lama dengan pelanggan itu. Namun, gerakannya lebih cepat menarik tanganku hingga benturan antara pinggiran meja dan punggungku memancing perhatian beberapa orang.

Aku meringis kecil saat tulang punggungku terasa berdenyut. Kepalaku menoleh ke arah tangannya yang masih bertengger di pergelangan tanganku. Tanpa pikir panjang, aku segera memelintirnya hingga pria itu mengaduh kesakitan. Bukannya membantu, teman-temannya yang lain justru menjadikan kami layaknya bahan tontonan bergenre komedi. Aku mendorongnya hingga ia terjatuh dari kursinya. Tidak tega juga melihatnya kesakitan terlalu lama.

"Ada apa ini?" Uda Arkan datang. Seketika, aku menyesali perbuatan memalukan ini.

"Maaf, Uda." Aku memberanikan diri untuk bersuara begitu Uda Arkan menyuruhku mengikutinya ke salah satu ruangan. Bisa dibilang, Uda Arkan ini adalah kepala pelayan. Meski begitu, usianya hanya terpaut empat tahun lebih tua dariku.

"Jika alasannya untuk pembelaan diri, maka kamu tidak bersalah. Tapi, jika seandainya hal itu terjadi lagi, jangan menggunakan kekerasan." Uda Arkan yang sedari tadi memunggungiku, kini mulai berbalik. "Panggil siapa pun yang ada di dekatmu," lanjutnya.

Aku mengangguk kecil, kuakui bahwa perbuatanku sangat salah. "Ya sudah, kembali bekerja. Masih banyak pelanggan yang berdatangan."

Dia mendahuluiku keluar ruangan. Mau ditaruh di mana wajahku jika aku ditugaskan untuk mengantar pesanan lagi? Pasti ada beberapa pelanggan yang menyaksikan perkelahian singkat itu.

"Hei, pegawai baru! Antar ini ke meja dua puluh dua!"

Belum juga mendapatkan solusi, aku sudah harus benar-benar menampakkan wajah di depan mereka. Tidak adakah pegawai lain yang bisa menggantikan pekerjaanku kali ini saja? Oh, tidak. Semua orang mempunyai kesibukan masing-masing saat ini.

"Sampai kapan kamu akan berdiri di sana? Cepat!"

Tak punya pilihan lain, aku segera membawa nampan berukuran sedang itu ke meja dua puluh dua. Tak bisa kupungkiri, beberapa orang memang memusatkan perhatiannya terhadapku. Entah apa yang mereka pikirkan, tetapi itu sangat tidak nyaman, seolah-olah aku tengah dihakimi oleh tatapan-tatapan itu.

Luka dalam LikuNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ