1. Cuma Sepuluh Menit

60 5 5
                                    

Jika predikat tampan bisa membuat setiap gadis jatuh cinta, maka pastilah Papa adalah cinta pertamaku. Namun, nyatanya beliau adalah patah hati pertama yang menyebabkan trauma.

- Luka dalam Liku -

•••

Aku meringkuk di bawah selimut tebal yang menutupi seluruh tubuhku. Meski pengap karena aku melakukannya semalaman, tubuh ini masih enggan keluar dari persembunyian. Alarm yang kunyalakan setiap pukul empat pagi sudah menyala sejak tadi. Azan subuh pun sudah tak terdengar lagi.

Jika saja tidak ingat bahwa salat sunnah dua raka'at sebelum subuh lebih baik dari dunia dan seisinya, tak ingin aku menyibak selimut, lalu mengawali hari membosankan lainnya dengan segayung air wudhu yang dinginnya hampir membuat kuku membiru.

"Kai ...?" Aku menggoyangkan tubuh Kaiza yang masih terlelap dengan sisa air yang sudah mengering di sudut matanya. Gadis sembilan tahun yang hanya bisa mengekspresikan kecewanya dengan menangis itu membuat hatiku sedikit tergores.

"Subuh, Fa." Aku beralih kepada Faiza yang menggeliat dari tidurnya. Suara tokek di rumah tetangga saja bisa mengusik tidurnya, apalagi suaraku yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya.

Tanpa mengatakan sesuatu, Faiza beranjak menuju kamar mandi. Wajahnya yang langka sekali menunjukkan ekspresi tak jarang membuat hatiku mencelos. Meski tidak pernah marah atau menangis sekalipun, diamnya Faiza adalah bencana bagi pikiranku. Aku bukan tipikal orang yang dengan leluasa mengekspresikan emosi, tetapi percayalah bahwa aku sangat peduli terhadap kedua adik kecilku itu.

Suara sahut-sahutan antara dua pria dewasa dengan nada tinggi diluar kamar hampir membuat niatku untuk mencuci piring menguap begitu saja. Namun, jika aku tidak melakukannya sekarang, maka Mama akan mengomel karena tidak ada piring untuk sarapan pagi ini. Kemarin aku tidak sempat mengurusi alat makan kotor karena pulang sekolah overtime dari biasanya.

Aku meminta Faiza untuk membangunkan Kaiza saat pertengkaran Papa dan Kak Alan sudah mereda saja. Tidak mungkin sekali untuk membiarkan Kaiza kembali meneteskan air mata setelah semalam sesenggukan karena pertengkaran Mama dan Papa.

Hal pertama yang menyambutku ketika membuka pintu kamar adalah kepala sabuk yang mendarat keras di keningku. Untuk sejenak, dua pasang bola mata dengan kobaran amarah itu sedikit melunak. Aku melengos, melanjutkan niat sebelumnya untuk mencuci piring.

Tak perlu terkejut, inilah asupanku setiap pagi. Temperamen Papa yang sedari dulu tidak pernah berubah, disandingkan dengan Kak Alan yang menuruni sifat keras kepala dari Mama. Selama ada mereka bertiga, rumah ini tidak akan pernah terdengar damai. Ya, itulah kenyataannya.

"Hhh ... ." Helaan napasku pagi ini adalah awal dari keluhan-keluhan lainnya yang hanya bisa kulampiaskan dalam sebuah kepalan tangan. Seringkali, jari-jariku terluka karena tancapan kuku yang tak kusadari.

Sesuatu yang basah terasa menggelitiki keningku. Huft, pagi-pagi begini sudah berkeringat saja. Saat pergelangan tanganku menyekanya, ternyata bukan cairan bening yang kudapati, melainkan cairan merah kental yang sudah tak asing lagi di mataku. Tidak apa, ini bukan kali pertama aku mendapatkan luka fisik dari perlakuan mereka. Jangankan fisik, psikis saja sudah tidak aneh lagi.

•••

Di usiaku yang sudah mulai menginjak delapan belas tahun ini adalah hal yang lumrah untuk terjun ke dunia percintaan. Lihatlah temanku satu-satunya ini, Kanaya. Dia sibuk bersorak ria karena Gavin baru saja mencetak angka dalam permainan sepak bola di lapangan outdoor sekolah. Jika saja gadis ini tidak memaksaku untuk menemaninya menonton sang gebetan, tidak akan mau aku panas-panasan di tribun penonton seperti ini. Anehnya, ada banyak sekali kaum hawa yang rela meluangkan waktu dan tenaganya hanya untuk berteriak menyemangati sang idola.

Luka dalam LikuWhere stories live. Discover now