06. Kagum

19 3 1
                                    

Bukan tentang rasa, tetapi bagaimana cara menghargai.

AKDI, Juli 2022

***

Fadlan duduk dengan tenang di taman itu, ia tidak merasa gelisah ataupun takut karena tidak merasa terjadi apa pun. Bahkan, ia mengira papanya Keisya akan bersilaturahmi. Cowok itu yang memang pada dasarnya ramah dan baik membelikan Firman sebuah jus yang berwadah cup. Ia menyediakan untuk pria paruh baya itu.

"Sebelumnya, saya minta maaf sudah mengambil sedikit waktu kamu," kata Firman sebagai awalan.

Fadlan tersenyum tipis. "Nggak papa, Om. Kelas masih kosong, kok," balasnya dengan santai.

"Saya tidak pernah tahu dengan kelakuan anak saya di luar karena sedikit sibuk di kantor," ucap Firman menghadap lurus ke depan. Cowok ber-hoodie itu hanya diam, ia belum mengerti maksud yang diceritakan. 

"Namun, saya tidak pernah bosan untuk mengawasi dari pihak luar." Firman berhenti sejenak. "Jika kamu berharap memiliki hubungan dengan Keisya, dia tidak akan mau," imbuhnya langsung menatap Fadlan mengintimidasi.

Fadlan mengangkat alis. Ia bukan orang yang tidak peka, cowok itu langsung paham dengan tujuan Firman datang padanya pagi itu. Ia tersenyum, di dalam hatinya tak pernah terbesit untuk menjalani hubungan dengan siapa pun termasuk Keisya. 

"Apa Om mengira saya akan mendekati Keisya?" tanya Fadlan dengan sopan.

"Maybe," balas Firman dengan yakin.

"Om salah, saya tidak pernah berkomunikasi dengan Keisya, kecuali berbicara tentang Shafa. Itu pun jika mendesak." Fadlan membasahkan bibirnya. "Saya tidak pernah memiliki pikiran itu pada Keisya." 

Firman mengangguk beberapa kali. "Yakin? Bisa dipercaya?" Ia melihat Fadlan dengan tajam.

"Om bisa menjamin," kata Fadlan dengan sebenarnya. 

"Baik, saya pegang omongan kamu. Saya harap kamu tidak menipu." Firman pergi setelah mengucapkan hal peringatan itu. Ia meninggalkan Fadlan dengan beberapa pertanyaan di otak pemuda itu.

Fadlan sendiri bingung mendapatkan dugaan yang menurutnya tak pantas untuk ditanyakan. Bahkan, selama ini ia belum pernah ada niat mendekati Keisya meskipun sering bertemu di rumahnya. Entah darimana papanya bisa menduga ia akan berhubungan lebih dengan gadis itu.

"Ada-ada saja," gumam Fadlan, lalu pergi dari tempat itu.

***

"Halo, Kak Fadlan," sapa Hana dengan senyum lebar di depan kelas cowok itu. "Hana bawa bekal, nih. Kakak sarapan, ya?" Hana menyodorkan sekotak nasi dengan penuh harap bahwa Fadlan akan memakannya.

Fadlan mengembuskan napas. Ia heran pada gadis mungil di depannya ini yang tidak pernah bosan mendekatinya. Lelaki itu tidak bisa melangkah jauh. Jika menerima pemberiannya, sama saja ia memberi harapan pada cewek itu. Namun, jika tidak, ia akan melukai hatinya.

"Hana, kamu nggak perlu repot-repot membawa bekal buat aku. Aku udah makan di rumah juga," tolak Fadlan secara halus, ia tidak pandai menyakiti perasaan orang setelah cukup sakit dengan masa lalunya.

Hana tampak murung. "Jadi, Kakak menolak bekal Hana?" Hana memundurkan langkah dan menunduk, seolah habis dimarahi oleh sosok papanya.

Hal itu menjadi kelemahan Fadlan, ia tidak bisa melihat seseorang kecewa karen dirinya. Pada akhirnya, cowok tampan itu menerima bekal Hana. Gadis tersebut tersenyum lebar, cukup senang sebab tak merasa rugi memasak di pagi buta. Setelah mengucapkan terima kasih, Fadlan masuk ke kelas dengan membawa sekotak bekal itu.

"Vik, makan kamu aja," ujar Fadlan memberikan bekal itu pada Viko yang duduk tenang di kursinya.

Viko mengangkat kepala, lalu memeriksa bekal itu. Ia langsung paham bahwa makanan itu diberikan oleh Hana. Cowok berambut kecoklatan itu heran kepada Hana yang betah mendekati Fadlan setiap hari. Padahal jelas-jelas cowok itu tak suka dengannya.

"Hargai sedikit bolehlah, makan aja. Lagian cuma nasi uduk." Viko memberi saran dengan pelan. "Seharusnya kamu jangan ambil, kalo gini dia jadi berharap lagi," imbuhnya merasa kasihan pada Hana. 

"Kamu tahu aku gimana," jawabnya sembari mengeluarkan buku-buku mata kuliahnya.

Viko mengedikkan bahu, ia tak bisa menasihati Fadlan yang memang memiliki hati lembut dan tidak bisa menyakiti orang lain. Namun, ia sama saja menyakiti jika tidak berani menolak pemberian orang. Viko hanya bisa pasrah dan mengikuti alur yang dibuat sahabatnya.

***

Keisya telah menyelesaikan penelitian di rumah sakit khusus psikologi sore itu. Ia ikut pulang ke rumah Shafa karena ada laporan yang harus dikerjakan. Gadis itu diajak ke ruang tamu, sementara Shafa langsung pergi ke dapur untuk membuat minuman dan mengambil camilan.

Keisya merebahkan punggungnya di sandaran sofa. Ia memejamkan mata untuk menghilangkan penatnya, cukup lelah karena aktivitas padatnya hari ini. Cewek itu bukan orang yang tangguh dan bukan orang yang mau dikatakan lemah, bahkan terkadang bisa menangis juga ketika benar-benar merasa sulit.

Perempuan itu sampai tak sadar ada seseorang yang turun dari tangga dan melihatnya cukup lama. Ya, orang itu adalah Fadlan, ia teralihkan saat pergi menuju dapur. Wajah lelah dan penuh tuntutan bisa dilihat jelas oleh cowok itu, bahkan ia tak bisa membayangkan berada di posisinya.

"Kagum aja, kenapa sekuat itu?" Tanpa sadar Fadlan bergumam sembari menatap Keisya dengan serius. 

"Ciee ... yang lagi kagum."

Fadlan sedikit tersentak dan langsung memalingkan wajah dengan pura-pura tidak terjadi sesuatu. Bahkan, ia memilih pergi ke dapur untuk menghindari pertanyaan dari adiknya. Cowok itu seperti tertangkap basah oleh seseorang.

Bersambung ....

_______________

Dasar Fadlan^^

See You


Bondowoso, 03 Juli 2022


Aku, Kamu, dan Impian [Sudah Terbit]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon