05. Percaya dan Ikhlas

20 3 0
                                    

Terkadang harus mengikhlaskan untuk membuat dia bahagia.

AKDI, Juni 2022

***

Keadaan malam itu cukup mencekam. Di mana Firman yang menatap Keisya dengan dingin dan perempuan itu yang berusaha menenangkan pikiran untuk tidak gugup menjelaskan kenyataan yang telah terjadi. 

"Keisya, jelaskan sama Papa yang sebenarnya," pinta pria paruh baya itu dengan jelas.

Gadis berambut panjang itu menghela napas, ia tidak takut untuk mengungkapkan sesuatu bila memang tidak salah. Hanya saja, ia tidak bisa dibentak dan diperlakukan kasar. Mentalnya akan tiba-tiba turun, jika menghadapi kekasaran.

"Mas, lembutkan suara kamu," cela sang istri yang tahu bagaimana keadaan Keisya, ia tidak akan berbicara sampai kapan pun bila dibentak.

Firman sedikit mengembuskan napas dan cukup melunak. "Papa mau mendengarkan penjelasan kamu," kata Firman sedikit lembut.

Keisya memejamkan mata sejenak. "Keisya bukan jalan sama cowok mana pun, Kei pergi menemani Shafa membeli barang-barang kuliah." 

"Kakakmu bilang kalau--"

"Siapa? Kak Fadlan? Dia hanya mengantarkan Shafa dan tidak ada komunikasi yang melebihi batas antara aku dan Kak Fadlan." Keisya berkata dengan sebenarnya tanpa rasa takut, ia berani berbuat apa pun karena memang tidak salah.

"Ucapan kamu bisa Papa percaya?" tanya Firman dengan tegas.

Keisya mengangguk yakin. "Harus, Papa tahu sendiri kalau aku nggak pernah bohong sama Papa," sahutnya berharap sang papa percaya.

"Jika suatu saat kamu berbohong atas ini, kamu tahu apa yang akan dilakukan oleh Papa?" hardik Firman dengan serius. 

Pria itu mendidik anak-anaknya dari kecil dengan tegas dan penuh kasih sayang. Jika mereka melakukan kesalahan, ia tidak pernah mengabaikan penjelasan keduanya. Ia siap mendengar, tetapi apabila terbukti akan ada hukuman yang memang membuat mereka jera.

"Iya, Pa. Keisya minta maaf sudah pulang sedikit telat." Perempuan itu menunduk karena memang bersalah tidak mengabari orang rumah bahwa dirinya akan pergi ke mall terlebih dahulu.

Firman maju selangkah dan mengusap rambut Keisya. "Lain kali jangan kayak gini, bilang kalau mau ke mana. Ingat, hargai waktu," ucapnya pada Keisya dengan lembut.

Tanpa mereka ketahui, di balik tangga ada sosok Rayya yang melihat kejadian itu. Ia hanya bisa tersenyum miris dan merasa kesal sebab papanya mengampuni sikap Keisya. Ia langsung pergi ke atas dan membanting pintu dengan keras yang bisa didengarkan oleh orang bawah.

***

Laki-laki yang tengah duduk di kasur setelah selesai mandi, rambut pun masih tampak basah. Ia mengambil sebuah foto di nakas, lalu memandangnya dengan lamat. Senyuman terukir di bibirnya saat melihat wajah manis dan cantik di foto itu. Memori ingatan kembali berputar pada waktu silam, di mana canda dan tawa menemani keduanya. Namun, saat ini hanya bisa dikenang, bahkan tak akan terulang kembali.

"Aku kangen, Rena," gumamnya sembari menatap foto itu. 

Suara ketukan pintu terdengar, ia segera mengusap ujung matanya yang berair. Ia menoleh, ternyata sang adik menghampirinya. Cowok itu tersenyum pada Shafa yang duduk di sebelah kirinya. 

Keisya menatap foto yang ia kenal. "Kakak masih simpan foto itu?" tanya Shafa pada Fadlan.

Shafa cukup menjadi saksi cinta mereka. Mereka berjauhan, tetapi Shafa kerap menjadi tempat cerita dan keluh kesah Fadlan saat bertengkar dengan Rena. Bahkan, keadaan bahagia pun juga ikut merasakan karena cowok itu tak pernah absen melapor pada adiknya.

"Hm, Kakak nggak pernah buang dia," sahutnya pada Shafa.

"Kakak tahu istilah ikhlas, kan? Jika dalam hati Kakak belum ikhlas, Kak Rena nggak akan tenang di sana," jelas cewek itu penuh ketulusan.

Fadlan mengangguk, lalu tertawa kecil. "Kakak ikhlas, kok. Hanya saja, terkadang ingin dia kembali," ucapnya pada Shafa.

Shafa memeluk kakaknya dari samping, ia bisa melihat dari mata Fadlan yang sangat menunjukkan luka. Ia tahu Fadlan rindu, bahkan ia ikut merasakan kehilangan. Shafa mengusap punggung kekar cowok itu, seolah menyalurkan kenyamanan.

Shafa melepas pelukan itu. "Kakak harus kuat, buktikan pada Kak Rena kalau Kakak bisa bahagia tanpanya. Dengan itu, Kak Rena akan ikut tersenyum." 

Fadlan mengambil napas dalam. Perkataan Shafa benar, ia tidak mungkin terus-menerus menyesali semuanya. Ia harus bisa bangkit dan menjalani kehidupannya yang sekarang. Namun, untuk masalah hati, ia belum bisa membuka untuk siapa pun. 

"Terima kasih, Sayang."

"Hm, kembali kasih kakakku yang tampan."

***

Fadlan kembali ke mobil di parkiran karena bukunya yang ketinggalan di dalam sana. Ia hendak membuka pimtu mobil, tetapi ada seseorang yang memanggil. Cowok itu menoleh, lalu menyatukan alis karena tidak asing dengan pria berjas di depannya.

"Om ini ...." Fadlan berusaha mengingat orang itu.

"Iya, saya Firman, papanya Keisya," jawabnya cepat.

"Ah, iya, Om." Pemuda itu tersenyum, lalu bersalaman dengan ramah seperti biasa. 

Firman menatap Fadlan dari atas sampai bawah, ia melihat dengan lamat wajah itu. Ia harus bertindak dan tak akan tinggal diam. Pria itu berinisiatif untuk membuktikan perkataan Rayya dan pengakuan Keisya. Dalam hatinya berharap bahwa sang putri tidak berbohong.

"Saya mau minta waktunya sebentar. Bisa berbicara di sana?" Firman menunjuk taman yang terdapat kursi panjang. 


Bersambung ...

_______________

Thanks for reading:)

See You

Bondowoso, 02 Juli 2022



Aku, Kamu, dan Impian [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang