/dua puluh dua

176 24 7
                                    

"Nanti makan di- astaga, Dy!" Gamma yang sudah berlari mendahului di depan Azady lantas berseru ke belakang begitu menemukan pacarnya yang sudah duduk berselonjor di aspal. "Kamu ngapain sih?"

"Lo cepet banget sih larinya! Kan gue bilang istirahat dulu." Seru Azady. Orang-orang yang disekitarnya sampai menaruh perhatian pada mereka karena sabtu pagi ini, taman di dekat apartemen Gamma memang cukup ramai. Meskipun di dominasi oleh orang tua. "Jogging, Gam, jogging. Bukan lomba lari."

Gamma menghampiri Azady sambil terkekeh geli. "Bangun ah, kotor itu lo duduk kayak gitu."

"Capek."

"Iya bangun dulu. Duduknya di kursi depan aja itu." Gamma mengulurkan tangannya yang mau tak mau langsung diterima oleh Azady meskipun perempuan itu masih sedikit mendumel kesal.

"Lo tuh kayak ngajakin gue lomba lari tau nggak? Cepet banget." Gamma lagi-lagi tertawa seraya menghapus bulir keringat yang bermunculan di kening Azady.

"Tapi lo tadi nggak protes?"

"Ini sekarang gue lagi protes." Azady mengerlingkan matanya kesal. Sementara Gamma tersenyum geli.

"Lo baru protes pas udah mau balik, aneh lo." Ujar Gamma. "Tapi tadi lo keren, bisa ngeimbangin gue. I thought you don't like this kind of things. Soalnya tadi pas diajak lo kayak nggak mau." Goda Gamma tiba-tiba sambil menyodorkan air putih pada Azady ketika mereka kini hanya berjalan santai. "Minum dulu, nih"

Azady meraih sebotol air mineral itu sebelum diteguknya hingga tersisa setengah. Sementara Gamma hanya memperhatikannya seraya tersenyum geli. "Haus banget, mbaknya."

"Ya lo pikir aja sendiri." Gamma tambah tersenyum mengejek.

"Lo udah lama suka lari pagi?"

Azady terkekeh untuk sesaat. "Gue emang kurang suka, tadinya juga nggak pernah kok, Gam."

"Terus kenapa?"

Berpura-pura tidak mendengarnya, Azady malah mengalihkan pandangannya kearah lain. Melihat kucing liar yang sedang berdiam dibawah kursi taman tak jauh darinya.

"Ih, ada kucing lucu Gam!" Serunya memberitahu disertai intonasi antusiasnya.

Gamma yang paham bahwa perempuan itu berusaha mengalihkan topik, hanya tersenyum kecil melihatnya. "Kok tiba-tiba bahas kucing, kan ini lagi ngomongin kamu."

Perkataan Gamma itu membuat Azady hanya mampu membalasnya dengan senyum canggung. Sementara Gamma kembali menghela napas pelan dan tersenyum kecil, berusaha mengerti.

"Mau denger cerita gue nggak?"

"Apaa?"

"Waktu itu, malam pertama pulang ke rumah setelah Alaska pergi, gue nggak bisa tidur." Azady langsung menaruh fokus pada Gamma begitu cowok itu dengan tiba-tiba mulai bercerita yang Azady belum bisa menebak kemana arah cerita ini akan bermuara.

Gamma berhenti berjalan dan duduk dikursi taman, diikuti oleh Azady yang sudah menyiapkan telinga secara penuh. "Gue udah minum coklat panas, hitung domba, sampai coba meditasi biar bisa tidur, tapi tetap nggak ada hasilnya."

"Terus lo lari?" Tebak Azady dengan suara pelan, membuat Gamma lantas menoleh kearahnya dan tersenyum sesaat. Seolah ia sudah menduga bahwa gadisnya akan berujar demikian.

Gamma mengangguk sebagai jawaban. "Gue pikir kalau badan gue capek abis lari, gue bisa tidur-"

"Tapi setelah lari, lo tetap sendirian dan tetap nggak bisa tidur?" Azady memotong perkataannya dengan tebakan yang benar-benar tepat. Seolah perempuan itu juga mengalaminya sendiri. "Ditambah kalau lo nggak pernah olahraga sebelumnya badan pasti jadi sakit semua, nafas sesak, dan kepala rasanya mau pecah."

"Tapi perasaan dan pikiran gue masih kacau balau, kalau mau coba teriak-teriak kayak di film juga udah nggak ada tenaga." Jelas Gamma memberi tahu, mengingat kembali saat dirinya kacau setelah ditinggal Alaska pergi. Ia kemudian berusaha membaca raut wajah Azady yang tiba-tiba sedikit berubah muram seolah teringat sesuatu juga.

"Lo juga mulai lari karena kehilangan seseorang ya?" Tanya Gamma membuat Azady tanpa sadar mengangguk pelan dan Gamma sudah menduganya. Bahkan Gamma kini punya satu nama yang muncul dipikirannya terkait orang tersebut. Sekala, tentu saja. "Udah, Dy? Ngangguk aja, nggak ada penjelasan lain gitu?"

Azady mengangkat wajahnya, seraya berusaha mengalihkan perhatian dari Gamma. Ia kemudian berdiri dari duduknya. "Udah mulai siang, Gam. Panas mataharinya, yuk jalan lagi."

"Kamu ngehindar mulu deh kalau aku tanya." Gamma cemberut, berusaha sedikit merajuk agar perempuan itu mau terbuka dengannya sedikit saja.

"Emangnya kamu nanya apa?"

"Ya kamu mulai lari karena kehilangan siapa?" Lagi-lagi Azady malah diam dan hanya mengangkat bahunya. "Sekala ya?"

"Ayo jalan ah, keburu makin panas. Katanya mau cari makan." Ajak Azady lagi. "Gue tinggal ya kalo lo diem aja."

"Curang, kamu tau soal Alaska tapi aku nggak tau apa-apa soal Sekala." Azady kembali diam, merasa ucapan Gamma terlampau benar. Memang dirinya seperti tidak adil, ia mengetahui segalanya tentang Alaska namun Gamma bahkan tidak mengetahui sedikit pun soal Sekala.

Terlebih setelah insiden ia salah memanggil Gamma dengan sebutan Sekala.

Tapi Azady memang belum bisa menceritakannya untuk saat ini. Ia sedang tidak ingin perasaan sesak yang teramat itu timbul kembali di hari yang cerah dan indah seperti ini. Ia akhirnya berdeham untuk sesaat. "Katanya lo mau nunggu sampai gue mau cerita dengan sendirinya?"

"Iyasih, tapi kan- ah yaudah deh. Gak masalah."

"Lo marah ya?"

Gamma menghela napas pelan. "Gue nggak marah, Dy. Nggak jadi mau maksa juga. Kalau lo udah siap cerita, i'm all ears for you."

Senyum Azady lantas terbit. "Makasih ya?"

"Kenapa makasih?"

"Soalnya lo udah pengertian." Azady tersenyum tulus, seolah matanya mengucapkan banyak kata terimakasih. "Makasih banyak ya karena lo selalu berusaha ngertiin gue meskipun gue kayaknya banyak banget tertutupnya sama lo."

"Namanya juga hubungan, perlu waktu untuk semuanya. Gue juga perlu waktu kok sampai gue bisa terbuka sama lo kayak kemarin. Mungkin untuk lo masih perlu waktu sedikit lagi supaya terbuka sama gue, tapi gue bakal terus nunggu kok, Dy." Azady mengangguk ikut menyetujui dengan sedikit senyum bangga tentunya, karena sejak kapan pacarnya itu bisa bersikap sedewasa ini? Ia sedikit terkejut dengan sisi Gamma yang seperti ini.

Tak lama Gamma menyenggol pelan lengannya. "Trus yang tadi, jadi bener ya, kalau Sekala orangnya?"

"Bisa dibilang?" Jawab Azady membuatnya tetap ambigu seperti itu.

"Kok jawabannya nggak pasti kayak gitu sih?" Perempuan itu terkekeh geli.

"Iya, tapi ceritanya nanti ya? Cuma kenangan masa lalu kok. Sekarang kan aku udah punya kamu." Tutup perempuan itu membuat Gamma tersenyum sedikit.

Mungkin bagi Gamma untuk saat ini itu saja cukup. Setidaknya kini Gamma sudah bisa menebak, dimana setengah hati perempuan itu yang hilang. Tebakannya tak lagi abu-abu dan itu saja sudah lebih dari cukup.

Setidaknya untuk saat ini.

••••

maafkan aku yg meninggalkan ini lama bgtt :(( ternyata tugas kuliahku smt kmrn sama sekali nggak bisa ditinggal :"
semoga masih ada yang mau baca yaa dan masih inget alurnya😿
Oiya, nanti malem aku double update!!!

15.40 pm
30 Juni 2022

Ruang JedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang