Suamiku Jadul Penuh Hikmah dan Pelajaran episode 27

589 14 1
                                    

✍️ ^Cerbung :
Suamiku_Jadul...
Part 27

👇Selama di desa, aku benar-benar jadi beban, kini kakiku sudah terkilir, sakit dibawa jalan. Akan tetapi Bang Parlin tetap setia mengurus bayi kami. Di sini aku diperlakukan bagaikan ratu, tak boleh masak. Terakhir aku baru tahu, aku tak boleh masak karena masakanku tak pernah cocok di lidah mereka.

Ayah mertua ternyata jauh lebih jadul dari Bang Parlin. Mungkin jadul ini adalah keturunan. Aku sangat terkejut melihat Ayah mertua gosok gigi pakai pasir. Saat itu kami lagi makan bersama di pinggir sungai. Pasir dan air dimasukkan ke mulut, baru digosok pakai jari telunjuk. Gigi memang putih, akan tetapi tak berbahayakah itu? Bagaimana kalau pasir tertelan?

"Ini sikat gigi, Mang Boru," kataku kemudian.

"Ayah gak pernah pakai sikat gigi," kata Bang Parlin.

"Haaa?"

"Iya, ayahku orang jadul level akut, Ayah bahkan tak pernah pakai sabun jika mandi." kata Bang Parlin lagi.

"Jadi pakai apa?"

"Pakai batu,"

Ya, Allah, di jaman serba canggih begini masih ada orang yang tak pernah pakai sabun? Akan tetapi Ayah mertua terlihat bersih, tak juga berbau, hanya bau tembakau.

Makan di pinggir sungai ternyata sangat nikmat, lebih nikmat dari pada makan di restoran mewah. Lauk semua dicari sendiri, untuk ikan, suami dan beberapa orang pergi menjala, untuk sayur, ibu-ibu ambil sendiri. Di sini berkebun sayur susah, musti dipagar tinggi, karena banyak lembu berkeliaran.

Selama tiga bulan di desa, aku benar-benar bisa terlepas dari HP, biasanya satu jam saja tak lihat alat komunilasi itu, serasa ada yang kurang, kini sudah tiga bulan.

Sekolah SD itu sudah selesai dibangun, mulai menerima murid, semuanya gratis. Bang Nyatan dan Bang Parta serta kami mensubsidi sekolah tersebut. Lagi-lagi aku yang dipercaya sebagai bendahara. Bang Parta dan Bang Nyatan rutin mengirim ke rekeningku tiap bulan.

"Udah puas kau, Dek," tanya suami di suatu pagi.

"Puas apanya, Bang?"

"Puas di kebun ini, kapan kita pulang?"

"Entahlah, Bang, di sini adem,"

"Adek kini ada kegiatan, jadi menteri keuangan yayasan, tahun depan, sekolah TK akan dibangun, di daerah ini belum ada TK," kata suami.

'Iya, Bang,"

"Ayah suruh kita pulang, katanya kasihan parumaen," kata Bang Parlin lagi.

"Siapa parumaen?"

"Ya, Adeklah,"

"Tapi biasa dipanggilnya Ayah, maen,"

"Ya, sama saja,"

Bang Parlin memberikan kebebasan untukku mau tinggal di mana, mau di Medan, mau di desa, atau di kebun, semua terserah aku, Bang Parlin katanya nurut saja. Kadang aku merasa terlalu mengatur suami. Aku mau berlama-lama di sini karena takut suami makin tergantung HP, egoisnya aku, padahal Bang Parlin mau tinggal di kota untuk menikmati hidup.

Akhirnya kami pulang ke Medan, jabatanku sebagai bendahara mungkin bisa kukerjakan dari kota. Tugasku hanya menerima dan menyalurkan dana, menggaji guru yang baru tiga orang.

Sesampainya di Medan, kami dikejutkan dengan keadaan rumah yang acak-acakan, kasur terbalik, isi lemari keluar semua. Rumah kami ternyata kemalingan. Barang-barang berharga banyak yang hilang.

Yang aneh tak ada pintu rusak, jendela juga masih utuh.

"Kita lapor polisi, Bang," kataku kemudian.

SUAMIKU JADUL Penuh Hikmah dan PelajaranWhere stories live. Discover now