Chapter 1

24 4 2
                                    

Ghania melihatnya, lelaki berperawakan tegap dengan tinggi di atas rata-rata. Tampan. Itulah yang langsung terlintas di benaknya. Ketampanan yang menampilkan lelaki dewasa. Dengan baju batik berwarna coklat dan celana dasar hitam ia tetap telihat menawan.

Arfa Raif Salim namanya. Ghania tahu nama itu beberapa minggu yang lalu, ayahnya yang memberi tahu. Termasuk umur, status, dan pekerjaannya sebagai seorang manajer di sebuah perusahaan besar.

Mulanya Ghania bingung mengapa Ayahnya memberi tahu informasi mengenai Arfa, dan akhirnya kebingungannya terjawab saat sang ayah mengatakan bahwa ia berencana menjodohkan Ghania dengan lelaki yang merupakan anak sahabatnya tersebut.

Ghania adalah tipe anak yang sangat mengedepankan kebahagiaan orang tuanya. Semenjak ibunya meninggal, ia selalu berusaha bersikap baik dan mematuhi semua perkataan Ayahnya.

Sebenarnya ada keinginan besar di dalam hatinya untuk menolak permintaan sang Ayah, dan mudah baginya untuk menolak karena ia tahu Ayahnya hanya berencana dan tetap ia yang akan memutuskan bagaimana akhirnya. Namun, melihat binar di mata Ayahnya yang sudah lama hilang semenjak kepergian sang Ibu kembali muncul kala membicarakan rencana perjodohan tersebut hati Ghania menjadi luluh dan akhirnya menyetujui rencana perjodohan tersebut.

Dapat ia lihat sang ayah tersenyum sangat lebar, mengucapkan terima kasih kepadanya, dan berkata bahwa lelaki yang akan di jodohkan dengannya adalah lelaki yang baik. Ghania hanya mengangguk dan memberikan senyum kecil kepada ayahnya.

Lalu disinilah Ghania berada sekarang. Di ruang tamu rumahnya. Dengan mengenakan gamis berwarna pink pucat dan kerudung hitam Ia menyambut kedatangan calon suami yang didampingi kedua orang tuanya. Disampingnya sang ayah senantiasa mendampingi dengan senyum yang tidak pernah surut.

Ada keheningan yang cukup lama saat akhirnya semua orang duduk di sofa. Menunggu Bik Iis sang asisten rumah tangga selesai menghidangkan minuman dan beberapa kue. Ghania hanya bisa menunduk, tidak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya Om Salim, Ayah Arfa mulai membuka suara.

" Oh ini yang namanya Ghania ya, cantik sekali ternyata"
Ghania mengangkat wajahnya mendengar pujian dari Om Salim yang disetujui oleh sang istri Tante Desi. Mengucapkan terima kasih dengan suara yang gugup sambil berusaha menampilkan senyum tulus. Tanpa sengaja matanya bertubrukan dengan mata kelam Arfa. Sontak ia mengalihkan pandangan karena saking gugupnya.

" Tante dengar, Ghania sekarang Ngajar di SD ya sayang, pasti lagi sibuk-sibuknya, soalnya mau bagi rapot kan kalo nggak salah"
Tante Desi mulai memancing pembicaraan dengan Ghania, mencoba untuk lebih mengenalnya.

"Iya Tante. Aku ngajar di SD. Minggu depan memang mau bagi rapot, jadi aku semingguan ini agak lebih sibuk dari biasanya" Ghania berucap dengan sopan. Disampingnya sang ayah sudah mengobrol akrab dengan Om Salim.

"Aduhh.. keren banget. Tante dulu pas kecil mau banget jadi guru, mulia gitu soalnya bisa ngasih ilmu ke orang lain, tapi pas udah besar tante berubah fikiran. Nggak cocok aja rasanya jadi guru soalnya tante ini orangnya nggak sabaran banget"

Ghania sontak terkekeh mendengar perkataan Tante Desi. Tidak membantah. Karena pekerjaannya memang membutuhkan kesabaran yang ekstra.

"Aku juga dulu orangnya nggak sabaran banget kok tan, tapi karena udah lama jadi terbiasa"
Ghania berkata dengan senyuman di bibirnya menampakkan lesung pipi di pipi sebelah kirinya.

" Wah bagus dong kalo gitu, kebetulan Arfa ini juga sabar banget loh orangnya, nggak pernah ngeluh tiap diminta ini itu, pasti nanti kalian berdua bakalan cocok banget" Tante Desi berbicara dengan nada yang menggebu-menggebu. Seolah-olah sedang mempromosikan anaknya kepada Ghania. Ghania hanya tersenyum tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Ia melirik Arfa yang ternyata sedari tadi sedang memperhatikannya. Dapat Ia lihat tahi lalat yang ada di bawah mata kiri Arfa, menambah kesan rupawan di wajahnya.

Ghania berdehem singkat, untuk menyadarkan dirinya karena baru saja mengagumi wajah seseorang. Dehemannya mengalihkan seluruh perhatian ke arahnya. Mungkin mereka kira Ia meminta untuk langsung menyampaikan maksud pertemuan ini.

Ghania bergerak kaku, menggaruk tangannya salah tingkah. Dapat Ia lihat Arfa menegapkan tubuhnya. Menghadap ke arah Ayahnya, lalu mulai membuka suara.

" Jadi Om, maksud kedatangan saya kemari bersama Mama Papa, saya bermaksud untuk melamar anak om, Ghania, untuk menjadi istri saya. Kami mungkin memang belum mengenal satu sama lain dengan baik, tapi itu nanti bisa kami lakukan setelah menikah. Yang bisa saya janjikan saat ini, saya akan memperlakukan putri anda dengan baik." Arfa berucap dengan sangat tenang. Suaranya benar-benar menunjukkan bahwa ia sosok lelaki yang matang. Sedangkan Ghania merasakan darahnya berdesir kencang. Jantungnya berdetak dengan sangat keras.

Ghania melihat ayahnya mengangguk, melirik sebentar ke arahnya. "Kalo Om sih setuju. Tapi om tidak berhak memutuskan, karena keputusan ada di Ghania, coba Arfa tanyakan ke Ghania apakah dia bersedia menikah dengan kamu atau tidak" Ayah meletakkan satu tangannya di bahu Ghania. Sekali lagi menegaskan bahwa ia tidak akan memaksa Ghania dalam perjodohan ini.

"Ghania..." Arfa kembali bersuara. Dan Perut Ghania terasa seolah diaduk-aduk mendengar itu. Mendengar namanya terucap dari sela bibir merah Arfa yang terlihat sangat serasi dengan bentuk wajahnya yang tegas.

"Saya bukan tipe yang banyak berbicara, lebih suka membuktikan langsung. Jadi saya tidak akan membujuk kamu dengan kata-kata rayuan. Jadi...Kamu.. bersedia menikah dengan saya?" Ghania tertegun, menatap kedua mata Arfa. Ia dapat melihat kesungguhan di kedua bola mata gelap itu. Seolah tekadnya untuk menikahi Ghania sangat kuat. Padahal ini adalah pertemuan pertama mereka.

Ghania memutuskan kontak mata mereka. Melihat ke sekeliling. Dapat ia lihat semua orang duduk tegang menunggu jawabannya. Dan dapat ia lihat pula harapan yang besar di mata Ayahnya.

Ia mulai bersuara. Setelah hening yang cukup lama.
" Ya. Saya bersedia." Ucapnya dengan satu kali tarikan nafas.

Semua bernafas dengan lega. Ayahnya merangkul pundak Ghania dengan haru. Om Salim tersenyum dengan lebar begitu pula Tante Desi yang langsung menggenggam tangannya. Arfa berterima kasih dengan senyum tipis yang menawan serta tatapan yang sangat dalam kepadanya. Yang tidak Ghania paham apa maksudnya.

Malam itu juga mereka merencanakan semua hal mengenai pernikahan tersebut. Tante Desi yang terlihat paling bersemangat. Ia menjabarkan semua rencananya dengan menggebu-gebu.

Ghiana dan Arfa sesekali dimintai pendapat. Ghania tidak tahu kenapa tetapi ia merasa Arfa sangat buru-buru untuk melaksanakan pernikahan ini. Ia menepis fikiran buruk yang mulai muncul dan berharap keputusan yang Ia ambil sudah benar.

Entahlah, Ghania berdoa semoga keinginannya membahagiakan sang ayah dapat dipermudah oleh Allah.

Glimpse Of UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang