17. malam dan kelamnya

5.6K 533 5
                                    

Dalam setiap jengkal semesta membentang luas di hamparan sana. Hanya dia seorang yang merasa sendirian. Perlukah dia menyusul untuk tidur dan membusuk selama nya di dalam gundukan tanah? Atau hidup terhina karena perilaku kedua orang tua nya yang rendahan.

Haechan, meremat buku catatan milik ibu nya. Dia sendirian di dalam ruangan gelap dan lembab, kamarnya. Sudah hampir seharian penuh Haechan mengurung diri. Tidak makan maupun mandi, atau sekedar membersihkan diri. Haechan tidak mampu beranjak dari tempatnya.

Giginya bergetar, isak tangis memecah gendang telinga nya. Pandangan yang memburam sering kali membuat kepalanya di landa pening. Punggungnya bersandar pada tembok pojok ruang kamarnya.

Membenamkan wajahnya pada kedua lutut. "Lee Johnny sialan hiks, ibu!!"

-

Pukul dua sore hari, Jaemin mengajak Jeno untuk pergi ke daerah gangnam. Sudah kali ketiganya mereka mengunjungi tiap gang kecil yang berada di gangnam. Sampai satu informasi dari bibi pemilik toko loa di sebrang sana memberitahukan lokasi tempat tinggal Lee Haechan.

Jaemin mengetuk pintu rumah besar itu. Ya walaupun tinggal di dalam gang, rumah Haechan lumayan besar hampir sama dengan rumah yang berada di kawasan elit seperti milik Jeno.

"Haechan, kau ada di dalam?"
"Ini aku, Jaemin"

Setiap ketukan tidak mendapat jawaban sama sekali dari yang punya rumah. Jeno memegang bahu kiri Jaemin, menggeleng pelan. "Dia belum bisa menemui orang luar Na" katanya.

"Tapi Jen. Haechan, dia sudah lama nggak masuk"

"Aku tau, besok kita kesini lagi. Udah mulai hujan"

Menggigit ujung bibirnya, helaan napas terdengar sebelum sebuah anggukkan menjadi jawaban. Mereka lekas pergi dari sana dengan motor besar milik Jeno.

Memeluk erat tubuh Jeno dari belakang. Helm kebesaran menutupi kepalanya. Baru beberapa menit mereka meninggalkan rumah Haechan, hujan deras mulai turun membasahi daerah sekitar.

"Aku takut Haechan kenapa-napa" lirih si manis yang berada dalam boncengan nya. Jeno tersenyum simpul, mengusap lembut jemari ranting milik Jaemin yang bertaut di perutnya.

"Dia keras kepala, tidak mungkin mati secepat itu" ia terkekeh walaupun terdengar dengusan yang kentara jelas dari indra pendengarnya.

Mungkin, ini sebuah ikatan batin dari dua saudara yang terpisah dan berakhir saling membenci?

Rupanya, tuhan tidak mau melihat kedua anak ini saling menyakiti diri sendiri.

"Na"

"Hm?"

"Aku mencintaimu"

Setelahnya, suara rincik hujan meredam suara Jeno. Jaemin mengulum senyum dan menganggukkan kepalanya pelan. "Aku juga, mencintai Jeno" bisik Jaemin yang sama sekali tidak dapat di dengar. Namun membuat Jeno tersenyum lebar dari balik helm nya.

Menepikan motor di sisi jalan, Jaemin mengerutkan kening bingung. Sedang, Jeno malah menyuruhnya turun. "Ada apa?" tanya si manis seraya membuka helm di kepalanya.

Jeno ikut melepas helm nya. "Mau hujan-hujanan, di USA aku tidak bisa melakukan ini karena tidak mempunyai teman. Dan sekarang, di sini . ." Jeno menggantung kalimatnya, menautkan jari miliknya dengan nyaman pada jari Jaemin.

"Aku akan mengajak kekasihku main hujan. Mau?"

Jaemin tertawa lepas, mengabaikan rona merah di wajahnya yang terasa panas. Lalu mengangguk dengan cepat. "Nana mau hujan-hujanan bareng Jeno!"

Tawa menyertai keduanya. Jaemin berlarian dan Jeno yang mengejar. Sampai pada satu adegan, mereka terjatuh dengan Jaemin yang berada di bawah kukungan Jung Jeno. Gigi kelinci itu sengaja Jaemin pamerkan.

[ ✔ ] Malam, dan kelamnya - nominTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang