#16 Menangis di Jalan Pulang

76 11 2
                                    

Halo! Aku balik! Hehe.

Selamat berfantasi!✨

***

"Adek hari ini berangkat sama Papa, ya? Abang sama Kakak udah berangkat duluan pagi-pagi." 

Mata Kencana membulat. Kedua tangannya sontak berhenti untuk mengikat tali sepatu. "Pa, nggak usah. Adek bisa sendiri."

Jayden mengambil jas hitamnya dan menyampirkannya di tangan kanan, lalu berjalan ke arah si bungsu dan mengusap kepalanya sekilas. "Berhubung Papa nggak buru-buru. Lagi ada Papi Dante yang back up kerjaan Papa di kantor."

Pradya Aleandro Dante. Kakak laki-laki Anya yang sangat dekat dengan anak-anak Jayden. Saking dekatnya, ketiga buah hati Jayden memanggil Dante dengan sebutan Papi. Anak-anak Jayden tahu, kalau omnya inilah yang tidak pernah pergi dari sisi mereka kala Anya menghembuskan nafas terakhirnya. 

Perasaan hati Kencana seketika sangat senang. Wajah gadis belia ini berseri, lalu menggenggam tangan Jayden dan bertanya, "Kalau Adek pulang sekolah ke kantor Papa, boleh? Adek mau ketemu Papi. Boleh, Papa?"

Jayden tersenyum dan mengecup pucuk kepala Kencana. "Boleh dong, Sayang. Boleh sekali. Tapi, harus diantar Papa ke sekolah sekarang. Nggak boleh nolak."

Kencana sedikit cemberut. Hatinya cukup gundah gulana di satu sisi. Tidak siap jika Jayden harus mengetahui semua kebohongan pelik yang ia tutup secara paksa selama ini. 

Namun, Kencana juga tidak bisa memungkiri bahwa ia begitu merindukan Dante. Sudah lebih dari dua tahun, Dante menetap di Bali dan tidak kunjung pulang. Kencana tidak mau melewatkan momen berharga ini untuk menghabiskan waktunya bersama dengan Dante. 

Di tengah kebimbangan itu, satu ide cemerlang muncul di dalam benak Kencana. 

Meminta Jayden untuk menurukannya di sebuah minimarket dekat sekolah adalah keputusan terbaik. Ide tersebut membuat bibir ranumnya tidak ragu lagi untuk mengiyakan tawaran Jayden. 

"Iya, Papa. Dianter Papa," jawab Kencana pelan, yang membuat Jayden tersenyum begitu lebar dan mengecup pucuk kepala anaknya berkali-kali.

Pasangan anak dan ayah itu berjalan menuju mobil. Membawa diri mereka untuk meninggalkan rumah dan menuju ke tempat tujuang masing-masing. Mengarungi jalanan milik ibu kota yang sedikit padat, dipenuhi dengan berbagai macam kendaraan nan sibuk. 

Kala lampu merah menghadang, Kencana membuka sedikit obrolan dengan papanya.

"Papa," Kencana sedikit mencondongkan badannya ke arah Jayden. 

"Hm? Kenapa, Sayang?" saut Jayden, melirik Kencana sekilas.

Kencana menghembuskan napasnya. Berusaha menenangkan batinnya dan mempersiapkan diri untuk melihat respons Jayden tentang permintaannya ini. Namun, demi memenuhi perasaan rindunya, Kencana harus berani memohon pada Jayden. 

"Papa, Papa janji enggak marah?"

Suara Kencana yang perlahan mengecil, membuat Jayden bertanya-tanya dalam hati. Pertanyaan macam apa yang akan dikatakan oleh anak bungsunya, sampai-sampai ia takut Jayden akan murka kalau mendengarnya?

Pria paruh baya ini sontak menoleh ke arah Kencana. "Adek mau tanya apa? Kenapa harus takut Papa marah? Adek bikin salah?"

Kencana menggeleng dengan cepat. "Bukan, Papa. Adek mau minta sesuatu."

Jayden tersenyum kecil dan mengusap kepala Kencana. "Mau minta apa, Pacarnya Papa? Hm? Mahal ya? Sampai Adek takut Papa marah gini."

Kencana semakin gugup. Ia meneguk ludahnya sekali. Terlalu takut untuk mengutarakan permintaannya pada sang papa.

Kita dan SekatWhere stories live. Discover now