#6 Ternyata Kalau Dibelakang, Rapuh Juga

113 10 0
                                    


Semangat untuk apapun yang lagi dikejar

Selamat Berfantasi


***

Dalam sebuah dimensi masa lalu, pria bertubuh tinggi dan cukup kekar itu berjalan mendekati tempat tidur milik tempat berbau menyengat yang tidak pernah ia sukai. Tempat penuh obat dan sesak, tujuan terakhir untuk mereka yang tidak mampu menahan sakit dan membutuhkan tangan-tangan lain untuk sembuh. 

Dengan kedua obsidian hitam pekat yang sayu dan memerah, ia mengarahkan tangannya untuk menjamah wajah wanita yang terlentang tak berdaya di atas sana. Mengagumi ciptaan Tuhan paling indah itu, sampai-sampai hanya senyum yang bisa menjadi satu-satunya cara untuk menggambarkan rasa syukurnya saat ini. 

Kedua sejoli itu menikmati bagaimana waktu bergerak, mengajak udara di dalam ruangan nomor seratus tiga puluh dua itu untuk beradu membuat atmosfir redup. Membiarkan mereka yang ada di sini dilanda sendu yang mulai berkarat, karena dibiarkan melapuk cukup lama. 

Sampai akhirnya, datanglah hari ini. Hari di mana wanita sekuat baja itu menerima semua keputusan akhir dokter tentang keadaan jasmaninya. Ia tidak punya kendali lagi untuk mengubah apapun. 

Hanya sang pencipta dan waktu yang tahu jawabannya. 

Tangan pria itu mengusap kepala wanitanya dengan pandangan teduh. Mengusahakan senyum terbaik, menunjukkan kedua lesung pipit indah di pipinya. Padahal, sang wanita sebenarnya tahu, kalau dibalik senyum yang indahnya melebihi laut itu, ada banyak sesak yang ditahan. Ada banyak sedih yang tidak bisa terungkap lagi. 

"Kalau di kehidupan selanjutnya aku boleh memilih, sama siapa aku akan berlayar, jawabannya akan tetep nama kamu." Suara yang terdengar sesak itu akan selalu terdengar syahdu di telinga sang pria. Dengan semburat senyuman kecil, wanita itu masih memandangi suaminya dengan bahagia tak terbendung. 

Bak seutas tali yang hampir putus, pria itu berada diambang jurang. Ia tidak bisa berbuat banyak selain berserah. Netranya sudah dipenuhi oleh genangan air yang siap untuk berderai kapan saja. Senyum yang sebelumnya diusahakan dengan sekuat tenaga, perlahan mencapai rasa lelah. Ketika bibir ranumnya mulai bergetar, isakan kecil sedikit demi sedikit keluar dari sana. 

Laki-laki itu tidak bisa pura-pura lagi untuk yang ini. Kuatnya perlahan habis didera pelik.

Waktu yang disediakan Tuhan untuk keduanya perlahan terkikis habis. Sampai ketika bunyi elektrokardiogram di kiri tempat tidur mulai berbunyi semakin cepat, ringisan penuh pilu dari sang adam semakin menggaung memenuhi ruangan. Memenuhi setiap sudut di sini, bersamaan dengan mengerasnya suara napas tercekat yang keluar dari bibir ranum sang hawa. 

Tutur terakhir yang bisa disampaikan hanya terima kasih dan maaf. Dua kata sederhana, tetapi maknanya sesempurna bentuk bintang di angkasa. Menimbulkan sepercik luka baru yang ternyata berdarah tak terlihat. 

Seperti ditusuk pisau bermata dua, lukanya semakin dalam, terlebih lagi kala daksa wanita itu berhenti untuk bergerak. Dan dalam hitungan pasti, kedua netra kecoklatan yang selalu berhasil membuat pria itu jatuh cinta, akhirnya menutup dengan erat. 

Dunia sang adam hancur, diiringi dengan bunyi elektrokardiogram yang mengalun panjang tak henti-henti. 

Bersamaan dengan raungan patah hati hebat yang disenandungkan sang adam, tiga orang lainnya masuk. Merayakan sebuah duka yang tak akan pernah usai sampai kapanpun. 

Di dalam ruangan seratus tiga puluh dua, keempatnya harus merana kehilangan. Menerima kepergian salah satu yang berharga, untuk selama-lamanya.  

Kita dan SekatTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang