#4 Namanya Palsu. Teman Baik Kencana

113 11 0
                                    

Sesuai janji, aku hari ini up! Lagi seneng soalnya huehuehue

Selamat Berfantasi

***

Tepat pukul empat, kedua tungkai Kencana sampai di depan pintu berbahan kayu jati milik rumahnya. Ia menghela napas dan berusaha untuk berjalan masuk ke dalam, walaupun pergelangan kakinya sakit bukan main. Tanpa perlu memastikan lagi, Kencana sudah yakin kalau pergelangannya pasti membengkak dua kali lebih besar dari sebelumnya. 

Beberapa menit lalu, Karel mengantarkan Kencana selamat sampai tujuan. Bahkan, laki-laki kelewat pintar itu menggendong Kencana sampai di depan pintu rumah. Hendak untuk mengantar sampai ke dalam, tetapi tidak jadi karena Kencana mengusirnya dengan cepat. 

Bukan, bukan bermaksud jahat dan tidak sopan. Kencana hanya tidak ingin dijadikan objek guyonan oleh Javas karena diantar pulang oleh laki-laki tak sedarah untuk pertama kalinya.

Perlahan tapi pasti, gadis dengan ransel hijau tua itu mendorong pintu rumahnya. Melangkah dengan tertatih, persis seperti langkahnya ketika berjalan di koridor sekolah setengah jam lalu. 

Tepat ketika Kencana masuk, presensinya langsung mendapatkan perhatian dari Marco dan Javas yang kebetulan sedang sama-sama sibuk di ruang tamu. Javas dengan laptopnya dan Marco dengan tumpukan buku bertema arsitektur yang sedang ia baca dengan saksama. 

Wajah kedua perkasa itu melukiskan semburat kekhawatiran yang diiringi dengan memberikan  sentuhan-sentuhan lembut pada wajah sang adik. Marco memang terkesan pendiam, tetapi untuk hal seperti ini, ia tidak akan diam mematung seperti orang bodoh. Kencana lebih penting dari apapun di dunia bagi Marco. 

"Kenapa kayak gitu jalannya? Adek jatuh? Yang mana yang sakit?" tanya Javas dengan kedua tangan yang menangkup pipi Kencana. Kedua pupilnya melebar, seiring dengan pergerakan netranya untuk melihat kaki kanan Kencana yang hanya terbalut dengan kaus kaki. 

Di sampingnya, Marco bergerak dengan sigap untuk merengkuh Kencana ke dalam gendongannya. Membawa gadis itu menuju ke sofa ruang tamu. Setelahnya, Marco berjongkok, mengangkat kaki kanan Kencana ke bagian paha, lalu membuka kaus kaki putih adiknya dengan perlahan. 

"Jangan! Ja-jangan, Kakak." Kencana menahan tangan Marco dan menggeleng untuk menolak. Tidak mau kalau Marco dan Javas menyaksikan secara langsung kondisi pergelangan kakinya yang mengenaskan. 

Di sisi lain, gadis enam belas tahun ini juga punya banyak takut. Tidak siap kalau harus menjawab pertanyaan dari keduanya perihal cikal bakal cedera yang ia dapatkan hari ini. 

Namun, seberapa keras Kencana menolak, tidak akan berpengaruh apapun bagi Marco. Si sulung itu mengarahkan pandangannya pada Kencana. Menatap kedua iris hitam pekat yang adiknya miliki dengan tatapan sedikit tajam. Membuat Kencana menunduk untuk menghindar dan melepaskan tangannya dari tangan Marco. 

Kala kaus kaki putih itu sudah tersingkap dengan sempurna, Javas adalah orang pertama yang gaduh. Laki-laki dengan mata berbentuk bulan sabit itu melontarkan banyak pertanyaan pada Kencana. Sedikit bergidik ngeri kala sadar bahwa bengkak yang menghiasi pergelangan kaki sang adik bukan bengkak biasa. 

Sedangkan Marco, tengah fokus memperhatikan pergelangan kaki Kencana. Dalam diam yang berarti, ia menelisik setiap inci bagian dari kaki Kencana yang membengkak. Marco memang kuliah di bidang arsitektur, tetapi dirinya tidak bodoh untuk tahu bahwa cedera yang Kencana alami ini adalah cedera yang cukup fatal. 

"Jawab Abang, dong! Kenapa ini? Kok, bengkak banget Adek? Jatuh di mana?" Di saat Javas memberikan sejumlah pertanyaan pada Kencana dan mendesak untuk dijawab, Marco tidak butuh itu sama sekali. 

Kita dan SekatWhere stories live. Discover now