Chapter 5: Old Friend

6 5 1
                                    

Someone who's know my secret; old friend」

***

"Ahhh... aku benci hari senin," keluhku seraya menundukan kepalaku sepanjang perjalanan.

Semenjak pindah ke apartemen aku tak lagi menaiki angkotan umum untuk pergi ke sekolah. Bagaimana tidak, jaraknya yang begitu dekat, gedung apartemen dan sekolah yang bersebrangan membuatku tak perlu menaiki bus sekolah. Apalagi semalam aku tak dapat tidur akibat asyik menangis hingga mataku membengkak.

Bisakah aku mempercayai kata-kataku?

"Pagi-pagi udah lesu aja mukanya, Neng," celetuk Pak Joko, si satpam sekolah ketika melihat wajah lesuku.

Aku lantas berdiri tegap sembari terkekeh seorang diri, binggung ingin menjawab apa.

Rutinitasku di hari senin-sekolah-tak berbeda jauh dengan siswa-siswi lainnya. Aku akan mengikuti upacara, lalu di sambung belajar, kadang kala ikut terkekeh dengan beberapa siswa-siswi yang sebetulnya sama sekali tak akrab denganku. Hanya untuk formalitas semata.

Topeng, begitulah aku menyebutnya. Tetapi semua orang melakukan hal itu bukan? Mengenakan topeng dalam kegiatan sosial mereka tak lebih demi memenuhi kebutuhan mereka sebagai makhluk sosial.

Yah... meski begitu aku sama sekali tak merasa lelah mengenakan topeng, ada kala aku merasa nyaman.

Kita perlu topeng, untuk menutupi kekurangan kita. Kita bukan orang yang pantas disebut manusia apabila mengumbar kelemahan kita.

Seusai upacara, kami lalu melakukan kegiatan utama kami yaitu belajar. Pelajaran matematika di jam pertama membuat tenagaku terkuras habis.

"Hah..."

"Nina, kenapa? Kamu gak suka pelajaran Ibu?" tanya Bu Dewi dengan wajah galaknya.

"E-enggak, Bu, tadi napas saya terasa sesak karena udaranya yang panas," jawabku sembari tersenyum kaku.

"Kamu ini, yasudah jangan diulangi lagi!"

Aku lalu mengangguk sembari tersenyum. Untung saja aku tak dikeluarkan dari kelasnya. Jika tidak, Solfa dan Solmi yang mengetahuinya akan melaporkan kepada Paman dan Bibi.

Aku lalu membenarkan posisi dudukku, Gita nampak serius mendengar pengajaran Bu Dewi, meski dia sendiri tak dapat memahaminya. Bukan berniat mengejek namun itu adalah rahasia umum, Gita si Primadona sekolah, si paling jago nyanyi itu sangat lemah di matematika. Kemampuan seni bernyanyi dan menghitungnya seakan cerminan dari langit dan bumi.

***

Bel sekolah berbunyi dan Gita langsung dengan sigap bangkit berdiri untuk menghampiri anak paling pintar di kelas kami--Ansius. Untuk apa lagi, tentu saja untuk les privat gratisnya itu. Katanya jika Ansius yang menerangkan akan lebih mudah dipahami daripada Bu Dewi yang menerangkan.

Aish... itu sih karena muka Ansius yang ganteng.

Aku lalu berdiri dan meninggalkan bangku serta ruang kelas. Tentu saja pergi ke atas atap sekolah. Ditemani dengan tumbuh-tumbuhan lebih nyaman daripada mendengar suara bising canda tawa para siswa-siswi.

"Kenapa harus ada orang sih?"

Aku mendengus seorang diri, kukira di atas bakal sepi tanpa ada siapapun, ternyata ada satu siswa yang tengah bengong. Ya sudahlah daripada di dalam kelas atas kantin. Sebenarnya aku bisa saja pergi ke perpustakaan, namun aku benci pergi ke sana.

Under the Aquaजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें