Chapter 1 - Kenapa Harus Dia, Sih?

Start from the beginning
                                    

            Suatu hari, kami sedang makan malam di sebuah restoran chinese food. Dia izin keluar restoran sebentar untuk menerima panggilan telepon. Aku yang tidak mau curiga terus menerus, menyusulnya diam-diam keluar restoran. Dari balik dinding pembatas yang terbuat dari ukiran kayu di lorong restoran, aku menguping pembicaraannya. Yang membuatku sakit hati adalah dia menyebut dirinya sebagai Ayah. Dengan hati yang berdenyut nyeri, aku berusaha menahan emosi sampai kami selesai makan malam. Selepas itu aku mencecarnya tentang statusnya. Hingga akhirnya dia mengaku kalau dia sudah punya istri dan satu anak, tetapi sedang dalam proses perceraian.

Beruntunglah dia karena pengendalian diriku. Kalau tidak, mungkin sudah kutampar bolak-balik sambil membalikkan meja akibat rasa murkaku padanya. Saat itu aku memutuskannya. Aku benci dan teramat benci jika mengetahui pasanganku selingkuh. Ya, mungkin dia tak menganggap bahwa dirinya adalah peselingkuh. Namun, bagiku sama saja. Selama belum ketok palu di pengadilan agama, dia pria beristri.

Sekitar sebulan setelah aku memutuskannya, istrinya mendatangi gedung kantorku. Waktu aku menemuinya di lobi, dia langsung menjambak rambutku dan mengataiku pelakor tahu malu. Aku tak berusaha melawannya secara fisik. Biarpun begini, aku masih tahu sopan santun. Aku berusaha mengatakan secara baik-baik akar permasalahannya. Namun, tetap saja, bagi istrinya, aku hanyalah pelakor kegatelan. Aku bagaikan ulat bulu bagi rumah tangga mereka. Dan aku tak bisa mengendalikan emosi seseorang yang berapi-api.

Keributan yang terjadi saat itu tentu saja memancing keingintahuan orang lain, dan menjadi santapan publik. Saat HRD kantorku tahu, aku dipanggil dan disidang. Meski aku tidak salah, aku tetap mendapatkan surat peringatan karena memancing keributan. Selama seminggu, aku menjadi buah bibir. Aku sering mendengar namaku dan nama perusahaan tempatku bekerja disebut-sebut tiap kali aku sedang di dalam toilet. Aku memutuskan untuk mengundurkan diri karena tak tahan pada gunjingan memalukan yang kudengar terus-menerus, terlebih ketika orang-orang sok tahu yang mengedepankan kata 'katanya' itu menyangkut pautkan dengan orangtuaku tanpa mereka tahu fakta yang sebenarnya terjadi.

Sosok Tae-oh yang manipulatif sedemikian rupa untuk menyembunyikan identitas diri demi mendapatkan seorang gadis, mengingatkanku pada bapak. Keluargaku tidak harmonis sejak aku masuk SMA dan puncak kehancuran keluargaku terjadi ketika aku menginjak kelas 3. Orangtuaku bercerai karena bapak ketahuan selingkuh. Mungkin,  bukan untuk yang pertama kali, karena sebelum ibuku meninggal, beliau bercerita bagaimana bapak dulu berkali-kali selingkuh di belakang ibu. Dan hal itu makin membuatku tak menganggap bapak masih ada meski dia masih hidup.

            Sial, mengingat ibu aku jadi ingin menangis, apalagi saat mengetahui penderitaan ibu selama ini.

Kuhembuskan napas berat begitu masuk ke sebuah gedung perkantoran di daerah Jakarta Selatan. Berharap penuh aku bisa lolos dan diterima bekerja di perusahaan ini. Perusahaan yang kudatangi sekarang bukan perusahaan besar seperti kantorku dulu. Waktu kubaca company profile-nya sekilas di website, perusahaan ini baru berjalan enam tahun, tetapi hebatnya sudah menggaet perusahaan-perusahaan besar sebagai kliennya. Dan sebagai wanita berusia 33 tahun, jobless, jomblo, dan tidak ada orangtua (tuh kurang apa lagi coba?) aku harus segera mendapatkan pekerjaan demi menanggung biaya hidup. Aku sadar sekali diumurku yang sekarang tidak semudah itu untuk mendapatkan pekerjaan bila dibandingkan dengan pelamar freshgraduate atau pelamar yang pernah berkuliah di universitas ternama.

            Kedua pelamar yang lain sudah dipanggil, tinggal tersisa aku yang duduk di sebuah ruangan kecil bertuliskan meeting room untuk menunggu giliran. Kuketuk-ketukkan jariku ke meja sementara kedua mataku memandangi layar ponsel dengan senyuman lebar. Indra—adikku satu-satunya mengirimi foto-fotonya dengan keindahan kota Nijmegen. Setidaknya ada yang membuatku tersenyum hari ini.

Love Vs. LogicWhere stories live. Discover now