37. Pool of Blood

634 141 48
                                    

»»----><----««

Di sebrang sana, Shasta meringis kesakitan akibat luka di lututnya. Darah sudah merembes, mengotori kain putih yang membalut luka.

Tepat belasan meter di depan sana, Alex dan Satya nampak saling menodongkan pedang dan pistol. Shasta semakin panik di buatnya dan berlari semakin kencang.

Ngga.. Gak boleh ada korban jiwa kali ini, batin Shasta dengan jantung yang berdegup amat kencang.

Belum sempat ia sampai di sana, beberapa detik kemudian, suara tembakan terdengar, di susul dengan suara teriakan dari kedua lelaki yang saling menodong tersebut.

Shasta yang tengah berlari pun mematung di tempat. Dari balik pepohonan, ia bisa melihat tubuh Alex dan Satya yang jatuh ke tanah secara bersamaan.

"EDEN! SATYA!" Shasta berlari menyusuri semak belukar yang tumbuh tinggi hingga sepinggang. Tidak peduli dengan keadaan lututnya yang terluka.

Begitu sampai di sana, Shasta langsung di sambut dengan darah yang menggenang dan 2 tubuh yang terkulai lemas, saling berhadap-hadapan. Alex duduk menyender di batang pohon seraya memegangi perutnya yang terus menerus mengeluarkan darah. Wajah lelaki itu menunjukkan kesakitan yang teramat sangat sampai-sampai mengeluarkan air mata. Sedangkan, tubuh Satya sudah terkulai lemas dengan pedang yang menancap di dadanya.

Kaki Shasta terasa lemas seketika. Ia perlahan mendekati tubuh Satya dengan genangan darah di bawahnya. Ia mengusap pelan surai sahabatnya itu. Kenangan saat Satya selalu mengajaknya bermain keluar di tengah-tengah pertengkaran ibu dan ayahnya kembali terputar di ingatannya. Rasa sesak menyeruak, meremat hatinya.

Shasta memeluk kedua lututnya, menyembunyikan wajahnya yang sudah banjir air mata di sana.

Sementara itu, Alex yang masih tersadar hanya bisa memperhatikan Shasta yang menangis seraya menahan rasa sakit. Ia ingin meminta maaf pada gadis itu karena telah membunuh sahabatnya. Ia tidak memiliki pilihan lain, kalau tidak Satya bisa saja melukai Shasta. Namun, rasa sakit dari tembakan itu begitu mendominasinya.

Beberapa detik kemudian, Shasta kembali mengangkat kepalanya, beralih menatap Alex. Kedua matanya membola begitu melihat mata lelaki itu sedikit terbuka, memandangnya sayu.

"E-eden, lu masih sadar?" Shasta mendekat ke arah Alex, memeriksa kondisi lelaki tersebut yang juga kehilangan banyak darah.

Shasta menekan titik pendarahan di perut lelaki itu agar tidak semakin banyak kehilangan darah.

"ADA ORANG DI SEKITAR SINI? TOLONG! ADA YANG TERLUKA!" Shasta berteriak panik, berusaha mencari pertolongan. Namun, mau sekencang dan sebanyak apapun Shasta berteriak, tidak ada juga orang yang kunjung datang. Mereka tepat berada di tengah hutan dengan langit yang perlahan menggelap. "Tunggu. Tunggu bentar." Shasta gelagapan, melepas kalung dengan alat sihir penghisap Mana yang melingkar di leher Satya.

Shasta mencoba mengotak-atik alat itu. Memutar, memukul, melempar, menginjaknya, tapi tetap tidak ada yang terjadi. Ia tetap tidak bisa mematikan alat itu dan tidak bisa menggunakan Mana. Shasta berteriak frustasi karenanya seraya tangisnya yang semakin kencang.

Ringisan kesakitan kembali Shasta dengar. Ia balik menatap Alex yang wajahnya semakin pucat. Sekujur tubuh Shasta gemetar. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di depannya, terdapat seseorang yang tengah sekarat, dan ia tidak bisa melakukan apa-apa. Tidak ada siapapun di hutan itu yang bisa ia mintai tolong.

He's the VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang