10. Pine Forest Castle

1.2K 221 30
                                    

»»----><----««

Ruangan bernuansa putih dan emas itu sepi. Satu-satunya lelaki yang duduk di tengah ruangan hanya diam tak berkutik. Ia menyeruput teh krisan dari cangkir porselen putih, mengetuk-ngetuk sepatu boots yang ia kenakan dengan irama teratur secara berulang-ulang di atas lantai pualam.

Suara sepatu boots lain yang menuruni tangga mulai terdengar. Suara langkah sepatu itu semakin dekat.

Tap.

Orang yang ia tunggu sudah datang. Terdengar ketukan berirama sama seperti ketukan sepatu boots tadi.

"Masuk." Lelaki yang duduk di tengah ruangan dengan meja bundar itu mengizinkan orang yang berada di luar sana untuk masuk. "Lama tak berjumpa, kawan."

Orang yang di panggil kawan berdengus. "Hubungan kita hanya sebatas rekan bisnis, jadi hilangkan kata-kata kawan di antara kita." Orang bermata tajam bak rubah itu menanggalkan jubah hitam yang ia kenakan. "Ada urusan apa kau memanggilku?" tanya orang itu ketus.


Lelaki yang masih memegang cangkir porselen dengan teh krisan itu menyeringai. "Kelihatannya kau sedang buru-buru, Marquis Vonsean Fersse." Lelaki itu meletakkan cangkirnya. "Santai saja, aku ingin membicarakan sesuatu dengan mu."

Sean menyenderkan tubuhnya di bantalan kursi empuk, siap mendengarkan lelaki itu berbicara.

"Dia semakin tidak terkendali. Setiap hari tubuhnya selalu menginginkan tanaman itu lebih dan lebih. Dia sepertinya sudah kehilangan kewarasannya. Bicara selalu tidak jelas. Sekarang dia sedang tertidur karena obat yang ku berikan, mungkin beberapa menit lagi efek obatnya akan hilang, dan dia akan kembali menjadi orang gila yang haus akan tanaman itu.

"Persediaan tanaman itu juga mulai menipis. Perdana menteri memerintahkan untuk menggusur lahan pertanian yang menanam tanaman tersebut. Jika seperti ini terus, bisnis kita bisa hancur."

Sunyi sejenak. Sean terkekeh mendengar penjelasan lelaki tersebut. Ekspresi lelaki itu tampak bingung melihat reaksi Sean yang tak sesuai prediksinya.

"Tuan Henry Eden. Kukira dia adalah orang cerdik dan jenius karena dia adalah lulusan Lambert academi. Akademi terbaik di negeri ini, tapi sepertinya aku salah." Sean terkekeh dengan wajah yang tampak sangat meledek.

"Jangan bawa-bawa soal pendidikan ku, Marques Sean. Itu tidak ada hubungannya. Lebih baik kau pikirkan solusinya dan jangan bertele-tele."

Sean kembali terkekeh. "Tentu saja aku sudah memikirkan solusinya. Jangan bertingkah seakan kau baru mengenal ku kemarin. Kau tahu betul kalau aku selalu memikirkan sesuatu 3 langkah kedepan."

Henry menatap serius Sean yang siap menjelaskan.

"Aku sudah mengubah bentuknya." Sean menjawab singkat, menyeruput teh yang di sediakan di depannya.

"Apa maksudmu merubah bentuknya?"

Sean menghela napas, malas menjelaskan, tapi ia harus menjelaskannya agar rekan bisnisnya yang satu ini berhenti mengoceh.

"Rekayasa. Aku melakukan rekayasa genetik pada tumbuhan itu, memproduksi biji tumbuhan yang sudah direkayasa dengan jumlah banyak. Aku hanya mengubah bentuk tumbuhan itu menjadi mirip seperti padi, tapi siapa sangka 1 bulir padinya bisa berharga mahal. Aku jamin tidak akan ada yang curiga, apalagi di zaman yang kolot ini, tidak ada yang tahu tentang rekayasa genetik. Kita bisa menanamnya tanpa di curigai." Sean kembali menyeruput teh krisan miliknya.

He's the VillainWhere stories live. Discover now