This World Is Never Okay From The First Place

262 31 7
                                    

"Eja, ayo dooong! Semua orang udah nungguin."

"Sabar. Bentar. Dikiiiitttt lagi," jawab si punya nama sambil memelintir helai demi helai rambut yang mencuat di kepalanya. Totalnya memang hanya dua helai, tetapi mengingat Eja sudah mengoleskan gel rambut sebanyak tiga kali pagi ini, sepertinya takdir rambutnya sudah dituliskan untuk merepotkan. "Non, menurut kamu mending kepalaku ditutup topi aja atau rambut yang nyembul aku gunting-guntingin?"

Nona mengeluarkan geram. Sudah 20 menit ia menunggu Eja yang meratapi bayangannya di dalam cermin. Gaun satin berwarna ungu yang digunakannya akan segera lecek bila ia harus berdiri lebih lama. Makanan di aula utama—tempat seluruh tamu undangan pernikahan sedang berkumpul sekarang—pasti sudah tersisa setengah, dan ia belum makan sejak kemarin. Ia tidak tahan lagi.

"Udah ganteng, kok. Udah. Gak usah diutak-atik terus itu rambut. Yang jadi bridesmaid-nya kan aku, kok malah kamu sih yang dandan enggak selesai-selesai?" gerutunya. Rambut dan makeu-up Nona sudah selesai satu jam yang lalu. Ia disanggul rendah pada sisi kiri, dihiasi jepitan buka mawar sintetis. Riasannya memang tidak semegah riasan untuk tampil di atas panggung, tetapi Nona masih mendapat kesempatan untuk menonjolkan lekuk wajahnya dengan bronzer dan highlighter.

"Gak bisa. Ini nikahannya Rani. Aku punya kewajiban untuk tampil sempurna, kalau enggak dia pasti ngambek sampai ... umurku 60 tahun. Apa lagi nanti harus pidato pengucapan selamat." Dikeluarkannya secarik kertas usang dari kantong celana. Pidato yang telah baca berulang-ulang ada di sana.

Eja menggunakan setelan jas baru, dibeli khusus untuk pernikahan saudarinya. Jas itu terlihat sangat mengkilap meski memiliki warna hitam legam, mungkin karena sudah terlalu lama terpapar 12 lampu pijar di kaca rias perempuan. Di lehernya, terkait dasi ungu muda, yang sejak pagi telah dipakaikan oleh Nona. Berkali-kali ia menepuk-nepuk debu tidak nyata dari atas jas itu. Bekas tangan Nona dari dasinya pun telah terhapuskan karena ia telah membetulkan kesimetrisannya terus menerus.

"Aku yakin pidatomu bagus. Jasmu bersih. Rambutmu rapi. Lagian, yang harusnya khawatir itu aku karena kalau kita terlambat semua anggota keluarga besar kamu akan ngira aku anaknya ribet," kata Nona, tangan kanannya menahan untuk tidak melempar buket bunga mawar putih yang dititipkan oleh Rani. "Dan kalau sampai itu kejadian, aku bakalan ngambek sama kamu sampai umurmu 120 tahun."

"Yaudah, gak apa-apa. Berarti aku masih punya sisa umur 880 tahun lagi tanpa ambekan kamu atau Rani." Eja akhirnya berbalik dan mendekat pada perempuan itu. Usahanya untuk terlihat sempurna telah berakhir. Anggap saja, ia lebih memilih keluar dengan anak rambut yang mencuat dibanding pacar yang tidak bicara padanya sama sekali. "Soal orang ngira kamu ribet ... Kamu cukup ngasih aku sinyal dan aku akan cepet-cepet jitak kepala orangnya."

"Tolol. Mereka semua bukannya keluarga kamu?"

"Hampir setengahnya aku gak kenal." Dilihatnya wajah Nona tanpa maksud. Cahaya lampu ruang tunggu pesta jatuh sempurna menyinari matanya. Di mata Eja, Nona selalu mengagumkan. Namun, ada mantra yang sepertinya dirapalkan oleh dunia kepadanya pada malam itu. Eja bisa melihatnya sampai 1000 tahun. Eja mau berdiri di sampingnya sampai seluruh sendinya tidak bisa berfungsi, walau ia rasa pada detik itu pun sendinya memang sudah melemah. Ia jadi teringat akan sesuatu. "Ah, iya. Lupa," bisik Eja.

Nona memutar bola matanya. Lelah, sekaligus khawatir ia harus menunggu 10 menit ekstra untuk hal yang terlupa itu. "Apa lagi, sih?"

Hampir seperti berlari. Hampir. Eja memutus jarak antara ia dan Nona. Merengkuh wajah manis itu dengan satu telapak besarnya. Ia mencium Nona sampai perempuan itu menyadarinya, lalu menutup mata. Bibir mereka menari. Bersama 12 lampu pijar kaca rias dan sayup-sayup musik pesta di balik pintu, bibir mereka menari. Momen itu terasa seperti selamanya.

Dunia Ini Tidak Pernah Baik-baik SajaWhere stories live. Discover now