Our Beloved Monsoon

165 30 1
                                    

 Mendekati perayaan hari jadinya yang ke satu tahun dengan Eja, waktu-waktu sudah memasuki musim hujan. Di antara curahan air yang melimpah, Nona mengingat dengan spesifik peristiwa di bawah tiga badai.

Bukan. Bukan badai kehidupan seperti yang orang-orang bayangkan. Badai sungguhan. Hidup Nona tengah dipenuhi jalan berbunga dan angin teduh. Tur baletnya berjalan sempurna. Kursi-kursi penuh setiap malam, ucapan selamat dari banyak mulut, dan uang tambahan yang membuatnya tidak perlu memilih antara makan malam atau membeli setelan baru. Pada panggung terakhirnya, ia membungkuk. Bermandikan tepuk tangan dan lemparan bunga mawar. Kemudian, mendapatkan berita bahwa tabungannya sudah cukup untuk membiayai kontrakan baru. Memberinya ruangan yang lebih besar. Kamar sebesar 3x4 meternya tergantikan dengan rumah sewaan seluas 50x70 meter persegi.

Kontrakan itu terletak tiga halte dari kos-kosan Leila, sepuluh menit berkendara dari rumah Eja. Meski perlu diakui ia harus berusaha keras untuk bisa bertemu Keenan, karena apartemennya berada di sisi lain kota, Nona tidak pernah mempersalahkan. Ia masih bisa melihat pria asosial itu di restoran cepat saji di pusat kota. Di antara jadwal makan sore Nona dan break mepet stase-stase Keenan.

Di hari Nona memindahkan barang-barangnya, Keenan tidak datang. Begitu juga Leila. Begitu juga hari yang cerah. Hanya tersisa dua tangan kuli Eja yang terbalut perban-perban, kardus-kardus barang, dan cuaca mendung di luar. Ketika seluruh kotak telah berpindah dengan aman dari truk pindahan ke teras kontrakan, langit memuntahkan air.

Kardus-kardus pakaian Nona berjumlah tiga buah. Ketiganya sudah ia seret ke kamar dengan mengabaikan kemungkinan otot pinggangnya tertarik. Ia memilih tidur di kamar yang sudah rapi dengan encok daripada harus menabrak kardus berat saat nyawanya masih setengah di pagi hari. Terlebih lagi, Eja sedang memasak empat buah mi instan rebus di dapur untuk upah mereka karena telah bekerja keras hari ini. Itu adalah sebuah tradisi, katanya. Ditetapkan oleh Rani ketika ia pindah ke indekosnya di Bandung. Merapikan kardus, memasak mi instan, menyapu tempat baru, membersihkan jendela dengan koran-koran bekas ...

Nona jadi teringat kembali. Ia harus membersihkan jendela kamarnya dari debu tebal.

"Ja, tolong masukin koran di atas kardus yang masih ada di teras, boleh gaaak?" pintanya, suara berdengung menembus tumpukan kardus-kardus.

"Oke!" Terdengar suara gadabak-gadabuk. Mirip langkah kaki yeti. Atau hanya langkah kaki pria dewasa yang terburu-buru mengambil kertas-kertas di luar sebelum berubah lepek karena hujan. Beberapa saat kemudian, Eja sudah muncul di depan pintu kamar Nona sambil membolak-balikan halaman koran. Kering, kertas itu. Ia tepat waktu mengangkatnya. Tulisannya masih bisa dibaca. Tulisannya sedang ia baca.

"Non, ini koran baru, ya?" tanyanya. Eja berjongkok di samping Nona. Mulutnya ternyata mengunyah sesuatu yang berbau amis. Telur rebus. Teman makan mi instan yang tak kunjung matang ia masak karena banyak jumlahnya.

"Iya. Aku beli sebelum berangkat tadi. Tadinya mau minta yang bekas dari tetangga kosan, ternyata enggak ada yang punya." Nona masih sibuk melipat baju-bajunya. Mempersiapkan mereka pindah ke lemari. "Emang kenapa?"

"Ada artikel tentang pentas terakhir kamu di sini. Ditulis sama Darius Kusumo."

Nona membeku. Ia mengangkat kepalanya dari pangkuan. "Darius Kusumo? Kritikus pementasan?"

"Yap." Eja terdiam sesaat. Otaknya tengah mencerna kata demi kata yang tertulis. Belum sempat Nona mendorong lehernya untuk mengintip beberapa paragraf dari artikel itu, Eja langsung menutup si koran rapat-rapat. "Aku saranin kamu gak usah baca. Pendapat dia gak penting juga buat kamu."

Nona memicingkan mata. "Kritiknya kasar, ya?"

"Kamu tau aku gak mau bohong," jawabnya, menenggak ludah dengan khawatir, "tapi ada beberapa bagian yang ... sangat gak enak dibaca."

Dunia Ini Tidak Pernah Baik-baik SajaWhere stories live. Discover now