Solo, 28 Mei 2022
Kuulurkan tanganku menerima buket bunga mawar yang beberapa menit lalu aku pesan. Tersenyum pada florist yang bekerja disana. Kemudian melangkah meninggalkan lapaknya. Berjalan beberapa meter jauhnya mendekati halte bus.
Ada beberapa orang yang sudah berada disana. Duduk dan menunggu bus mereka tiba.
Aku sama sekali tak menyangka hari seperti ini akan datang lagi padaku. Duduk menunggu bus di halte, layaknya masa sekolahku setiap berangkat dan pulang sekolah maupun dari les. Karena ditempat itu pula aku menemukan 'dia'.
Kududukkan tubuhku di kursi besi yang tersedia di halte. Mengulurkan tangan, membelai sedikit besi yang catnya mulai berkarat itu. Senyumanku terukir kembali. Masih ingat masa dimana kursi besi itu masih merah menyala dan halus. Kini, sudah banyak hal yang berubah.
Sinar matahari yang menyinariku dan beberapa penumpang lain tertutup seketika saat bus yang akan kami naiki berhenti. Warnanya kali ini sudah berubah menjadi merah seperti warna halte. Tak lagi biru seperti langit.
Aku segera melangkah memasuki kendaraan umum itu. Duduk di kursi yang berdekatan langsung dengan pintu keluar. Tempat favorit kami dulu.
Pandanganku terarah pada sepasang remaja yang duduk tepat disebelah pintu keluar. Seragam mereka yang putih abu-abu lagi-lagi membawaku bernostalgia. Aku juga bertemu dengannya pertama kali saat tingkat pendidikanku masih sama seperti mereka.
Tapi, kali ini aku sendiri. Tak lagi berdua seperti mereka.
Aku hanya bisa berdoa agar tuhan tak memisahkan mereka layaknya aku yang dipisahkan dengannya.
Hari ini, Sabtu. Hari yang sama saat aku mengenalnya untuk pertama kali. Mungkin aku harus meminta maaf kepada suamiku karena kembali memikirkan pria lain setelah aku bertemu kembali dengannya nanti.
"Hai? Apa kabar, Gingsul?"
Gingsul. Begitulah aku dulu menyapanya. Karena memang dia memiliki hal itu pada tubuhnya. Sebuah tambahan gula yang indah ketika ia tersenyum sambil menunjukkan giginya. Senyuman yang membuatku terpikat untuk pertama kali saat melihatnya.
Kuletakkan buket bunga mawar bawaanku ke atas gundukan tanah di hadapanku. Kemudian mengguyurkan air di atas batu nisan yang mengukirkan namanya. Bumi Kekal Sadajiwa. Sebuah nama unik yang diberikan sang bunda padanya.
"Umurku dah 25 lho sekarang. Kamu mah, betah 18 tahun terus." Aku berujar sambal menutup kembali botol air mineral yang kosong di tanganku. Memperhatikan warna keemasan yang muncul dari ukiran batu marmer itu.
Indah. Ya, ukiran yang indah untuk seorang pria yang tampan dan baik hati.
Aku jelas masih mengingat setiap candaan yang pernah dia lontarkan untukku. Tertawa dan bercerita bersama. Bumi yang aku ingat saat itu, adalah seseorang yang terus tersenyum dan gembira. Aku bahkan tertipu fakta dibalik senyuman itu yang menyimpan jutaan hingga milyaran rasa sakit seorang diri.
Dia berjuang begitu keras seorang diri. Tak ada siapapun yang menyokong punggungnya untuk terus berdiri. Namun, ia sanggup terus berdiri di sampingku. Menggandeng tanganku agar tak tumbang suatu hari.
Namun, ketika dia meninggalkanku, aku hanya bisa jatuh bersimpuh di tanah tanpa sanggup lagi menahan air mataku. Bahkan aku kehilangan kendali suaraku. Tiada hari tanpa aku berteriak histeris saat itu.
Aku, dibahagiakan olehnya. Tapi hanya berselang beberapa bulan saja, aku dihancur leburkan oleh orang yang sama karena kepergiannya.
*** *** ***
Hari berlalu dan kembali memasuki awal pekan. Aku sudah harus kembali bekerja di universitas yang masyhur di Solo. Yup, UNS.
Sudah berlalu hampir 2 tahun lamanya aku bekerja disana. Selain di UNS, aku juga bekerja di ITB dan UI. Sometimes, aku juga diundang ke beberapa universitas sebagai dosen tamu atau mengisi seminar matematika.
YOU ARE READING
UNETERNEL
Teen FictionDalam waktu singkat, aku mengenalnya dan mencintainya. Dalam waktu singkat pula, dia berhasil merenggut separuh jiwaku bersamanya. Kemudian pergi menyisakan ku bersama separuh yang rapuh. Bersamamu, Aku tak akan lagi merasa takut. - Sinar Cahya Re...
