🧸 Lala nangis

801 153 76
                                    

"EJI ANAK MAMI, BANGUN SAYANG!" Suara Dian—Mami Eji—menyambut kesadaran anaknya yang masih nyaman pelukan sama guling.

"EJI SEKOLAH, NAK!!"

Eji mulai bergumam nggak jelas setelah mendengar lagi suara Maminya yang berteriak dari lantai bawah di pagi hari yang nggak cerah-cerah banget ini.

"EJI ADA SHILLA NIH!"

Eji berdecak sambil mengusap kelopak matanya yang baru kebuka. "Ngapain sih tuh cewek."

Karena mata Eji masih kerasa berat untuk kebuka, dia mengabaikan panggilan Maminya lalu kembali terlelap dalam mimpi. Namun semua itu tak bertahan lama, karena suara ketukan keras dari luar kamar.

Disusul suara Papinya. "Astaghfirullah, Ahmad Fahrezi bin Jinan Hamidin." Jinan mengelus dada dramatis, sementara Eji mengintip gerak gerik papinya dengan sebelah mata.

"Udah tuli kuping kamu, nak?" Jinan menepuk pantat Eji membuat si empu mendengus sebal.

"PAPI APA SIHH?!"

"Bangun! Nggak denger kamu dibangunin Mami dari tadi?!" Kali ini pria itu menarik telinga Eji sampai Eji terpaksa mengubah posisi menjadi duduk, takut-takut telinganya terputus dari posisi semula karena tarikan luar biasa dari Papinya.

"IYAAA INI EJI BANGUN! ALLAHU AKBAR!!"

"Kamu disekolahin mahal-mahal bukan buat males-malesan, kalo mau berhenti sekolah nggak usah ngode. Langsung berhenti aja daripada buang duit."

"Astagfirullah, Pi. Nyebut-nyebut." Eji beranjak dari tempatnya, lalu mengusap-usap pundak Jinan yang malah dibalas tinjuan pelan di lengannya.

"Nyebat nyebut nyebat nyebut. Mandi!" Omel Jinan. "Sholat subuh nggak tadi?"

"Sholat, orang ini udah mandi. Tinggal siap-siap aja Eji tuh."

"Yaudah siap-siap." Setelah memastikan Eji tidak kembali ke tempat tidur, Jinan langsung berjalan menuju pintu.  "Di bawah ada Shilla tuh."

"Oh, bawa motor sendiri dia?"

"Nggak, naik ojol." Jawab Jinan sebelum keluar kamar.

Eji mengernyitkan dahi, buat apa cewek itu kesini dulu kalo dari rumah udah naik ojol? Kenapa nggak langsung sampe sekolah aja?

Eji mau heran tapi ini Shilla.

"Pasti biar ongkosnya nggak mahal," gumam Eji. "Dasar cicit penjajah." Dongkolnya.

Sedangkan di ruang makan, Shilla dengan santainya mengoleskan coklat spread ke atas selembar roti gandum. Kedua orang tua Eji memang sudah mengenal Shilla, bahkan bisa dibilang sudah cukup akrab. Dulu pertama kali Mami Eji kenal Shilla karena mereka pernah satu kelompok biologi dan selalu mengerjakan tugasnya di rumah ini.

Dian dan Jinan memang punya jiwa friendly pada siapapun yang akhirnya terwariskan pada Eji, pun kebetulan Shilla juga punya jiwa yang sefrekuensi dengan keluarga ini.

"Udah kelas sebelas Eji sebangku sama siapa, Shill?" Tanya Dian sambil menyiapkan sarapan buat Rai, adik perempuan Eji.

"Nggak tau, Mi. Eji tuh kayak kucing beranak pindah tempat mulu." Jawab Shilla setelah menelan kunyahannya. "Biasanya beres MPLS baru punya tempat duduk tetap, soalnya mau bikin denah kelas baru."

Dian mengangguk paham mendengar itu. "Kayak Papinya banget tuh, dulu di kelas nggak punya tempat duduk tetap."

"Loh, bukannya Mami??" Sela Jinan, sementara Shilla hanya terkekeh pelan menyaksikan interaksi kedua suami istri itu.

𝐀𝐌𝐈𝐆𝐎 | 00l TREASUREWhere stories live. Discover now