Kini Raline terkejut. Bekas cakaran? Ia tak sadar sudah melakukannya. "Mana gue tau, dia nyakar pipinya sendiri kali!" elaknya sambil membuang pandangan.

"Ya kali ada orang begitu." Rendra mencibir. Ia lalu hendak mengungkapkan satu fakta lagi, tapi orang yang sedang mereka bicarakan tiba-tiba datang.

Langga memasuki gerbang sembari menenteng sebuah kantung plastik di tangan kiri. Senyumnya cerah sekali. Bahkan menurut Rendra, terik matahari di jam dua belas siang saja masih kalah cerahnya. Pemuda berseragam abu-abu itu sampai harus menyipit, silau.

"Sudah bangun?" Langga langsung menyapa sang istri. Diabaikannya Rendra yang ia lewati.

"Ya, kalo belum bangun masih di kamar kali, Mas!" Rendra yang menimpali.

Kekehan ringan meluncur dari bibir Langga, pria yang tengah berbahagia itu lantas merogoh kantung celana pendeknya. Diambilnya sepuluh lembar uang pecahan berwarna merah dari dompet, lalu disodorkan pada sang adik ipar.

"Waahh ...." Mata Rendra seketika berbinar, kelopaknya terbuka lebar. "Kalo dikasih uang tutup mulut gini, sih, gue nggak bakalan protes meskipun desahan kalian berdua bikin kuping gue panas."

Sekitar dua puluh menit setelah Raline berteriak, Rendra kembali keluar dari kamar menuju dapur. Dan karena kamar Raline terletak di belakang tak jauh dari dapur, ia bisa mendengar dengan jelas rintihan-rintihan sialan itu.

"Ya udah, gue panggilin dulu Mbok Nem-nya. Makasih, Mas!"

Pemuda itu berlalu begitu saja tanpa rasa bersalah padahal sudah menghadirkan ucapan yang membuat dua kakaknya berdiri kaku sementara wajah mereka langsung memerah.

Rendra dengar? Astaga!

Raline yang lebih dulu tersadar dari keterkejutannya, perempuan yang mengenakan terusan selutut itu lekas berjalan ke dalam rumah, disusul Langga yang memerhatikan cara berjalannya.

"Masih sakit, ya?" Langga menghadang pergerakan sang istri di ruang tengah.

Raline berdecih. "Menurut lo?!"

"Maaf ...." Tangan Langga menyentuh puncak kepala Raline. Sebagian dirinya merasa bersalah sebab sudah memaksa, sebagian lagi bahagia tak terkira.

Mau bagaimana lagi, diminta dengan cara halus tak berhasil, ya sudah sedikit paksaan ia keluarkan. Kalau tidak begitu, Langga yakin ia akan menyandang status perjaka sampai tutup usia.

"Siap-siap gue laporin polisi lo!" ancam Raline sembari melotot.

Ancaman itu justru membuat Langga terbahak.

Raline makin sebal. Apanya yang lucu? Pihak berwajib pasti akan menerima laporannya. Tindak pemerkosaan adalah salah satu delik pidana yang ancaman hukumannya tak main-main. Bukankah begitu?

"Iya ... iya ... nanti saya anterin waktu bikin pengaduan." Langga mendorong pundak Raline pelan supaya duduk di sofa. Ia lalu mengambil benda dalam kantung plastik yang dibawanya, terus menghubungkannya ke sumber listrik.

"Saya tau kamu paling nggak suka sama rambut basah." Hair dryer mulai dihidupkan dan Langga mengarahkannya ke rambut sang istri. "Tapi kamu lupa bawa," sambungnya.

Jadi ... Langga pergi pagi-pagi untuk mencarikan benda itu?

"Beli di mana lo?" Setahu Raline, toko-toko elektronik di kotanya, baru buka jam sembilan atau sepuluh pagi.

Langga menyisir rambut Raline dengan jari-jari tangan kiri. "Pinjem punya Mami. Saya keliling belum ada toko yang buka."

Raline tak berkomentar lagi. Ia menikmati apa yang dilakukan Langga pada kepala dan rambutnya. Selagi mengeringkan, tangan kiri Langga memijit pelan. "Pinter juga lo, pernah kerja di salon, ya?"

ILUSI (Tamat)Where stories live. Discover now