ILUSI - 1

100K 7.3K 238
                                    




"INNNDDAAAAHHHHH ...."

Raline berdiri persis di depan pintu kamarnya yang terbuka lebar. Perempuan itu berkacak pinggang sambil menampilkan raut garang.

"Inndaaaahhhh ...," panggilnya sekali lagi karena orang yang namanya ia sebut belum juga menunjukkan batang hidungnya.

"Iya, Mba ...." Jawaban tak kalah kencang, menggema di seluruh ruangan lantai dua. Sosok perempuan muda berusia sekitar dua puluhan, kemudian tampak muncul dari arah tangga. "Ada apa, Mba?" tanyanya sembari mengatur napas.

Berbalik badan, Raline menyahut, "Lo taro di mana sepatu baru gue?"

Indah mengekori langkah si tuan rumah, otak perempuan muda yang telah bersuami itu otomatis sibuk mencari-cari dalam ingatannya barang yang Raline maksud. "Sepatu yang mana, ya, Mba?"

Raline punya ratusan koleksi sepatu yang termasuk sandal juga di dalamnya. Dan hampir setiap minggu jumlahnya akan terus bertambah, sebab setiap ada model terbaru dari brand favoritnya, Raline pasti akan membawanya pulang.

Kesal, Raline memutar lagi tubuhnya sambil mendelik. "Yang kemaren baru gue beli!"

Sudah berusaha mengingat, tapi Indah belum juga menemukannya. "Yang mana?"

"Astaga!" Berbicara dengan sang asisten memang sering kali membuat tekanan darah tinggi Raline meningkat drastis. "Baru kemaren gue kasih ke elo! Yang warna merah."

"Warna merah?" ulang Indah pelan. "Yang tinggi banget itu, ya, Mba?" Sepertinya, otak Indah mulai menemukan titik terang.

"Iya, sepuluh senti." Suara Raline berangsur normal. "Mana? Mau gue pake, cepet bawa sini!"

Indah menggaruk kepalanya dengan telunjuk. "Diambil, Mba?"

"Ya iyalah! Ya kali itu sepatu bisa jalan sendiri ke sini!" Raline lalu duduk di sofa depan ranjangnya, ia memeriksa ponsel, barangkali ada pesan dari manajernya. Setelah memastikan bahwa ia akan dijemput dalam beberapa menit ke depan, Raline menuju meja rias dan mulai merapikan rambut.

"Ngapain lo malah bengong di situ?"

Indah masih berdiri di tempatnya. Gesture yang bisa Raline tangkap adalah gelisah.

"Woy, Indah! Disuruh ambil juga!" Raline memantulkan sorot tajam matanya dari cermin meja rias.

Dengan langkah yang sangat kaku, Indah mendekat. "Ya sudah, saya pamit mau ambil sepatu Mba dulu."

"Pamit?" Raline tak urung mengernyit bingung. "Ko pamit? Emang lo taro di mana?" Ia lantas menelengkan kepala menatap sang asisten rumah tangga.

Di rumah Raline, ada sebuah ruangan khusus yang dipergunakan untuk menyimpan seluruh barang koleksinya. Baju untuk bekerja, sepatu, tas, dan sandal bermukim rapi di sana. Ruangan tersebut berada di lantai dua, hanya beberapa langkah dari kamarnya. Jadi ... untuk apa Indah berpamitan?

Indah mengeluarkan cengiran lebar. "Sepatunya ... kan udah dibawa sama orang yayasan."

"Maksudnya?"

Karena hampir setiap minggu Raline berbelanja, lemari penyimpanan benda-benda itu sering tak muat untuk menampung lagi. Sehingga ia acapkali menyumbangkan baju atau sepatu yang sudah tak ingin dipakainya ke salah satu yayasan amal.

"Kemarin sore 'kan orang yayasan ke sini buat ambil baju, Mba ... dan sepatu itu juga dibawa sama mereka," jawab Indah pelan.

Raline sontak melotot. "Kenapa bisa dibawa mereka? Itu masih baru, Indah! Belum pernah gue pake."

ILUSI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang