Prolog

147K 7.3K 302
                                    





"Cepat katakan!"

"Apa?"

Raline, si pengantin wanita yang saat ini memakai kebaya berbahan kain brokat putih tersebut tersenyum lebar. Ditatapnya sang suami yang baru menghalalkannya seratus delapan puluh menit yang lalu itu dengan sorot mata yang berpendar lucu.

"Ayo, cepet! Aku udah nggak sabar pengen denger." Kedua tangan Raline menggoyang lengan suaminya, pertanda keinginannya harus segera dituruti.

"Apa?" ulang Langga, bukan berpura-pura tapi ia sejatinya memang tak mengerti maksud dari perkataan perempuan yang baru saja ia nikahi.

"Itu ...." Lukisan senyum di bibir Raline kian indah, memperlihatkan deretan giginya yang tersusun rapi. "Kan kamu udah janji mau bilang 'I love you' kalo aku udah jadi istri kamu," lirihnya malu-malu.

"Harus?"

Tangan Raline turun dari lengan ke telapak tangan pemilik hatinya. "Iya, dong, kan kamu udah janji."

"Apa artinya sebuah kata-kata?"

"Ish." Pengantin dengan riasan adat Jawa itu mencebik. Sedari awal menjalin hubungan dengan Langga, belum pernah satu kali pun pria itu mengucapkan kata cinta. Pembawaannya yang pendiam dan terkesan dingin selalu berkilah bahwa rangkaian kata cinta tak berarti apa-apa. Tapi sebagai seorang wanita, makhluk Tuhan yang paling mudah dibuai lewat indra pendengaran, tentu saja Raline ingin sekali menangkap ungkapan perasaan dari seseorang yang dicintainya, apalagi orang itu kini berstatus suaminya.

"Tapi kamu udah janji." Nada suara Raline melemah, sarat akan kekecewaan.

Raline melipat wajah cantiknya, lantas sedikit menunduk untuk menyembunyikan rona kesedihan yang mulai tampak. Kelihatannya ia takkan mendengarkan kalimat itu hari ini, padahal menurutnya, apa susahnya mengucapkan tiga buah kata itu?

Sembari menarik senyum kecil, telunjuk Langga menyentuh dagu sang istri agar mendongak. "Oke, tapi nggak sekarang."

Kedua bola mata Raline seketika kembali berbinar. "Kapan?" tanyanya tak sabaran.

Langga tak menyahuti, laki-laki berjas hitam itu hanya tersenyum simpul.

"Gimana kalo nanti malem?" Wajah sang pengantin wanita mendekat, bibirnya mencari telinga suaminya untuk berbisik, "Aku udah siapin lingerie seksi," bisiknya lalu terkikik geli sendiri.

Memilih tetap tak menimpali, namun Langga tak mempunyai kuasa untuk mencegah kedua sudut bibirnya semakin tertarik ke atas.

"Raline!"

Panggilan yang berasal dari perempuan yang telah melahirkannya membuat tubuh Raline menarik jarak dari milik sang suami. Ia lekas turun dari atas pelaminan untuk menghampiri ibunya usai melemparkan senyum manis pada Langga.

Satu jam Raline habiskan untuk berbincang dengan sanak saudara yang semuanya berjenis kelamin perempuan di kamar pengantinnya. Telah lama mereka tak berjumpa, jadi sebelum berpamitan untuk kembali ke kediaman masing-masing, mereka menyempatkan diri untuk bertukar cerita.

Banyak wejangan yang Raline dapatkan dari tante-tantenya yang sudah berkeluarga, tentang bagaimana menjadi istri yang baik dan cara menjaga keharmonisan antar suami-istri.

Raline keluar dari kamar masih dengan kebayanya, menuju halaman rumah orang tuanya yang telah disulap menjadi tempat dilangsungkannya akad nikah serta menjamu tetangga dan sanak saudara yang menghadiri acara tersebut. Hanya sekedar jamuan seadanya untuk kerabat dekat kedua mempelai lantaran pernikahan mereka diadakan secara mendadak.

Pandangannya kemudian mengedar, mencari sosok pria yang telah menghalalkannya yang tadi ditinggalkan di atas pelaminan. Nihil. Langga tak ada di sana sekarang, halaman itu sudah terlihat sepi pengunjung karena acara yang memang sudah berakhir.

Diayunkan langkahnya melintasi bentangan karpet berwarna hijau, sampai tubuhnya berada di depan gerbang rumah, juga tidak ia temukan sosok suaminya itu. Hingga retinanya secara tak sengaja menangkap bayangan punggung yang ia cari dari kaca salah satu mobil yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.

Dahi Raline terlipat samar, ia lantas menggerakkan kakinya perlahan. Benaknya bertanya-tanya, sedang apa Langga di lorong sempit di samping rumahnya.

"Apa mau kamu sebenarnya?"

Suara Langga tercampur emosi yang cukup kentara. Dengan siapa pria itu berbicara? Lalu sayup-sayup rungu Raline mendengar suara isak tangis seorang wanita.

"Saya sudah turuti semua permintaan kamu, termasuk menikahi Raline. Padahal jelas-jelas kamu tau, kalo perempuan yang saya cintai cuma kamu!"

Detik itu juga, seluruh syaraf dalam tubuh Raline membeku. Ia sudah berdiri membelakangi dua orang yang sedang bersiteru dari jarak yang cukup dekat.

"Sekarang hal gila apalagi yang kamu inginkan?"

Tidak ada sahutan yang Raline dengar dari sang perempuan, gadis berkebaya merah itu hanya terisak seraya menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Saya nggak bisa! Semuanya sudah terlambat!"

Karena lawan bicaranya seolah tak berniat menjawab, Langga memutar tumitnya. Dan dalam sekejap, jantungnya serasa melompat keluar. Raline tengah menatapnya dengan wajah yang sudah banjir air mata.

Menyadari gerak kaki Langga yang mendadak berhenti, Eva akhirnya mengangkat wajahnya lanjut menengok ke belakang. Bagai tersengat arus listrik, persendian Eva langsung terasa lemas seketika.

Kemudian dengan langkah berderap lemah, Raline menghampiri sang suami yang berdiri bagai patung di samping sahabat baiknya. "Apa yang sedang kalian bicarakan?"

Langga mendekat, diraihnya pergelangan tangan Raline. "Nggak ada apa-apa." Laki-laki itu lalu dengan susah payah mencoba menarik segaris senyum. "Ayo masuk," ajaknya lembut.

Melepaskan belitan tangan Langga perlahan, Raline lekas mundur satu langkah. Ia tatap manik suaminya dalam. "Aku denger ... aku udah denger semuanya."

"Lin—" Langga mencoba meraih lagi tangan istrinya, tapi gagal.

Raline mengangkat tangan kirinya ke atas, tanda ia ingin Langga menghentikan ucapannya. Perempuan itu lalu mendekati Eva. "Kenapa harus mengorbankan perasaanmu demi aku?" tanyanya lancar meski tangan mulai gemetar.

Eva menatap wajah sahabatnya dengan air mata yang menganak sungai, tersendat ia coba untuk menyahuti. "Lin ... aku ...."

Belum selesai Eva berkata, Raline sudah memotongnya. "Kenapa aku bisa bodoh banget, kenapa aku bisa nggak sadar kalo kalian berdua saling mencintai ...." Sekilas Raline alihkan pandangannya pada sang suami yang menampilkan raut khawatir.

"Maaf ...." Raline berucap lirih tanpa menghentikan tangisannya. Ia sungguh merasa berdosa lantaran sudah memisahkan sepasang manusia yang saling mencinta.

"Lin ... kamu nggak salah, aku yang salah." Eva menubruk badan ramping milik sahabat baiknya, kemudian mendekapnya erat. Keduanya tergugu bersama di samping seorang pria yang tak tahu harus berbuat apa.

"Sekarang aku harus gimana? Apa yang harus aku lakuin?"

Sebuah pertanyaan retoris terlontar dari bibir sang pengantin wanita. Haruskah ia menjanda tepat di hari pernikahannya?


-Repost Prolog 5 Feb 22-



Maaf ya aku repost. Insya Allah mau aku lanjutin mulai besok. Tolong doain aku ngetiknya lancar, hahahaha ....

Cek mulmed di atas gaes ....

ILUSI (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang