Thirty Eight (1) : Christmas Gift

248 45 2
                                    

Suara ketukan pintu menggema ke seluruh penjuru ruangan, berhasil mengalihkan perhatianku yang notabene satu-satunya orang yang tersisa di ruangan dengan tiga buah tempat tidur. Begitu aku menoleh, benda berbahan kayu itu terbuka menunjukkan sosok wanita separuh baya dengan rambut merahnya. Ya, siapa lagi jika bukan Mrs. Weasley.

Ia melempar senyum, yang dengan senang hati kubalas dengan senyuman yang serupa. Mrs. Weasley lantas menyodorkan sebuah kotak berbalut kertas kado padaku. "Dari ibumu. Ah, tak perlu khawatir dengan Max, aku sudah meminta Sirius untuk memberinya makan tadi."

"Terima kasih, Mrs. Weasley," ucapku tulus.

Mrs. Weasley menepuk lenganku dua kali, lantas berkata, "Setelah membuka hadiahnya, segera turun ke bawah dan bergabung dengan yang lainnya."

Aku mengangguk, mengiyakan titahnya. Tak lama, wanita yang sudah kuanggap seperti bibiku sendiri itu berbalik meninggalkanku sendirian di kamar. Segera saja aku membuka hadiah yang jauh-jauh Mom kirimkan untukku, tak sabar menilik hadiah apa yang ia berikan padaku.

Ketika pita merah dan kertas kado berwarna cokelat muda itu lolos, sebuah piyama berwarna biru dongker dengan motif sederhana, juga selembar surat di atasnya langsung menarik perhatianku.

To, Lucy
My Beloved Daughter

Merry Christmas, sweetheart!
Semoga piyama buatan Mom bisa membuat tidurmu lebih nyenyak ♥

From,
You're Beloved Mother

Sebuah lengkungan kurva tanpa sadar timbul menghiasi bibir tipisku. Pesan singkat itu mampu membuat kupu-kupu dalam perutku bergejolak memberikan sensasi geli dan bahagia. Sejak tahun ketiga, mimpi buruk yang selalu menghantuiku itu memang selalu saja hadir acapkali teh camomile yang diracik oleh Madam Pomfrey telah habis tak bersisa. Terkadang, Mom bahkan sampai harus turun tangan menemaniku tidur karena merasa tak tega putrinya dilanda mimpi buruk setiap harinya. Mungkin, kali ini ia memberiku piyama dengan harapan aku dapat tidur lebih nyenyak, sebab ia meninggalkan jejak kehangatannya di sana meski kami tak berada di tempat yang sama.

Aku menatap surat dari Mom sekali lagi, masih dengan senyum yang serupa. Baru kusadari, jika Mom menuliskan sebuah note di pojok bawah kertas dengan tulisan yang lebih kecil.

Note :
Kemarin ada seseorang yang mengirim sebuah kotak ke rumah dengan burung hantu. Mom tidak tahu siapa yang mengirimnya, karena tak ada nama pengirimnya sama sekali. Kupikir itu dari temanmu jika dilihat dari isi suratnya. Jadi, Mom menyimpannya dan meletakkannya di meja kamarmu.

Maaf, Mom membukanya hadiahnya lebih dulu. Di dalamnya ada kalung perak dan apel hijau. Lihatlah saat kau sudah pulang nanti. Oh, atau mungkin kau ingin Mom mengirimnya padamu?

Aku mengernyit, merasa janggal sebab teman-temanku tak pernah memberiku hadiah saat natal sekalipun. Mungkinkah itu Harry? Tapi, aku 'kan ada di sini, jika itu dari dia mengapa ia malah mengirimnya ke rumahku. Mungkinkah ia merasa malu jika memberikannya secara langsung? Tidak, tidak ada alasan baginya untuk merasa malu. Ini hanya hadiah, oke? Bukan cincin tunangan atau hal lainnya yang berbau romantisme. Untuk apa ia merasa malu? Baiklah, kurasa aku harus menanyakannya secara langsung untuk mendapatkan jawabannya.

Baru saja aku membuka pintu kamarku, sepasang netra hijau langsung bersiborok dengan netra cokelat hazel milikku. Rupanya, lelaki itu juga baru saja keluar dari kamarnya dan hendak menuju ke dapur. Kebetulan saja, saat aku membuka pintu pria itu sedang melewati kamarku.

"Marry Christmas, Harry!" celetukku, tak lupa melemparkan lengkungan kurva padanya.

"Merry Christmas, Lucy," jawabnya kemudian sembari membalas senyumanku.

The Other SideWhere stories live. Discover now