Thirty Six (1) : Escape

337 60 15
                                    

Sejak percakapan kami malam itu, Draco menjadi lebih sering mengajakku berinteraksi. Meski sejak dulu ia sering membuatku kesal dengan segala tingkahnya yang menyebalkan, tapi akhir-akhir sikapnya semakin menjadi-jadi meski dalam artian yang berbeda. Jika biasanya ia selalu melontarkan kalimat ejekan, kini ia sering menggodaku dengan kalimat menggelikan dan terkadang memberikan perhatian kecil yang sebenarnya sangat tidak mungkin seorang Draco Malfoy lakukan.

Tentunya, ia tak melakukannya secara terang-terangan, sebab aku yakin benar dia tak akan mau diserbu keempat sahabatku plus Ginny yang notabene sangat tidak menyukai sosok Draco Malfoy yang terkenal akan kesombongan dan keangkuhannya. Tapi tetap saja, Ernie yang kelewat peka tidak sekali dua kali menanyakan mengapa lelaki Malfoy itu bersikap demikian. Dan aku hanya mampu menjawab dengan endikan bahu karena aku sendiri pun tak mengerti dengan perubahan sikapnya yang begitu tiba-tiba.

Oh, jangan lupakan gadis Parkinson yang kini lebih terang-terangan menunjukkan rasa bencinya padaku. Aku yakin kepalaku lama-lama akan berlubang karena tatapannya yang tajam hanya karena aku dan Draco kebetulan terlambat di kelas Umbridge dan terpaksa duduk di bangku yang sama.

Ya, pagi ini aku terlambat masuk kelas karena hantu asrama kami--Fat Friar, mengajakku berbincang bersama ketika kami berpapasan di koridor. Hantu bertubuh gempal itu sangat asik bercerita tentang kesehariannya saat dijahili oleh Peeves sampai membuatku merasa tidak enak hati untuk menyela. Dan entah bagaimana, saat aku tiba di depan pintu kelas, lelaki pirang itu tiba-tiba muncul dengan wajah penuh peluh dan seragam yang sedikit agak berantakan akibat lari-larian di sepanjang koridor menuju kelas.

Beruntung, Umbridge yang mendadak baik hati mempersilahkan kami duduk dan hanya memberi detensi berupa menyalin rangkuman materi tiga kali sebanyak lima bab. Setidaknya, itu lebih baik ketimbang harus menahan rasa sakit akibat sebuah pena yang dapat menyayat kulitmu secara ajaib.

"Sstt! Lucy!"

Aku menghentikan penaku, melirik ke arah lelaki di sampingku sejenak, sebelum kemudian memilih tak acuh dan melanjutkan aktivitasku. Aku sangat yakin, Draco hanya berniat menggangguku.

"Sstt! Apa kau punya tinta lagi?" bisiknya, kali ini benar-benar berhasil mengalihkan atensiku sepenuhnya.

Aku melihat ke arah botol tinta milik Draco yang berada di seberang bukunya. Rupanya, tinta milik lelaki itu sudah habis. Terbukti dari tulisan terakhir di kertas perkamen miliknya yang semakin menipis.

"Kupikir kau tak akan sudi menulis dengan tinta murahan milikku," sinisku lirih sembari menggeser botol tinta milikku padanya. Netraku sesekali melirik pada Umbridge yang berjalan mengitari meja murid-murid sembari berceloteh ria tentang Hogwarts yang seharusnya memiliki standar pendidikan yang begini dan begitu.

"Tak masalah. Asal itu darimu," jawab Draco, sukses membuatku bergidik geli seraya memasang jijik yang begitu kentara.

Saat netraku tak sengaja melirik ke arah depan, pandanganku tanpa sengaja bersiborok dengan netra cokelat milik Ernie di depan sana. Rupanya, lelaki itu tengah mengawasiku. Wajahnya tampak kesal, terlihat dari kedua alisnya yang hampir menyatu dan tangannya yang mengepal memegang pena. Bibirku gatal ingin bertanya, tapi langsung kuurungkan begitu ia memutuskan pandangannya dariku lebih dulu.

"Apa yang kau lihat, eh?" tanya Draco lirih.

Aku menggelengkan kepala pelan, "Bukan urusanmu."

"Sepertinya Macmillan menyukaimu. Bertepuk sebelah tangan, huh?"

Mendengar ucapannya, spontan tanganku berhenti menulis. Melirik punggung Ernie di depan sana sejenak, aku jelas tahu bahwa ucapan Draco memang benar adanya. Ernie menyukaiku, entah sejak kapan. Aku ingin menyangkalnya, tapi bagi orang yang bisa membaca pikiran sepertiku mana mungkin melakukannya? Aku jelas-jelas bisa membaca isi hati dan pikirannya, bahkan memorinya. Jelas itu semua bukanlah tebakan semata, melainkan sebuah fakta. Jika Draco saja sadar, bagaimana dengan ketiga sahabatku yang lainnya? Apa mereka juga menyadarinya?

The Other SideWhere stories live. Discover now