30. Yang Disebut Dewa (2)

457 96 2
                                    

Dia tidak suka tubuh manusia, selalu lemah untuk dia tempati.

Namun, dia juga mencintai manusia.

Basen Henituse contoh nyata manusia yang selalu merasa bersalah, terlihat bersinar tetapi nyatanya juga mengejar hal yang lebih remeh dari penghargaan orang-orang.

Dia menyukai rasa melayang dan berputar di udara, Hilsman gagal menusuk tubuhnya sekali lagi. Matanya berkilat, tubuhnya agak berat tetapi lebih gesit dari yang seharusnya.

Dewa Kematian, itu sebutan orang-orang kepadanya. Dia Dewa yang mengetahui kematian seseorang, dan takdir dari tubuh yang dia gunakan seharusnya sudah mati saat penyerangan di ibukota.

Itu alasan mengapa Basen Henituse semakin rapuh.

Karena takdir anak itu memang mati, menjadi batu loncatan ia untuk mendiami tubuh Putra Mahkota kerajaan Roan, Alberu Crossman.

Namun, pilihannya salah.

Dia tidak menyangka jika ini semakin rumit, orang-orang yang melawannya adalah tanda jika rencananya kacau balau. Terlebih karena Cale Henituse yang menggali ke sesuatu yang tidak semestinya.

Orang-orang yang seharusnya jadi pahlawan tidak menemukan benang kesinambungan untuk saling bergantung satu sama lain, itu membuat dia sakit kepala semenjak kematian naga hitam yang seharusnya menjadi bagian dari kelompok.

"Hei anak payah, menunduk!"

Dan lagi kakek cerewet itu, dia harus menghindar tanpa melukai. Garis waktu laki-laki itu masih panjang, dan anak muda yang satunya juga sama. Dia tidak diizinkan untuk membunuh.

Karena dia dewa.

Ada syarat ketat untuk membunuh manusia.

Dia membidik lengan Hilsman, sendi yang terkena cahaya kecil yang dia luncurkan bersuara nyaring. Pedang ditangan Hilsman jatuh membuat bunyi keras saat bertabrakan dengan lantai batu, kemudian membidik sendi engsel yang lain.

Dewa Kematian mundur, benda lain mengenai tangannya dan mengoyak bahunya.

Tubuh Basen Henituse tidak sekuat prajurit, sangat mudah untuk terluka apalagi oleh ahli pedang. Dia melihat Edro sebagai sesuatu yang lain saat laki-laki tua itu memegang pedang milik Hilsman.

"Jangan gunakan tubuh cucuku untuk sesuatu yang kau rencanakan!"

Saat dia mundur, bilah lain mengenai bahunya. Itu serangan ragu tetapi penuh perhitungan, saat dia berbalik dia menemukan countess yang seharusnya tidak ikut campur mengangkat pedang kearahnya seolah menantang maut.

"Violan, dia jelas bukan Basen!"

"Saya tau."

Juga menakjubkan, mata penuh tekat itu mengganggunya. Seharusnya dia tidak mengusik orang-orang ini.

"Berhenti mengganggu rencaku!"

.
.
.

Choi meminum ramuan yang dia dapat dari Rosalyn, matanya menatap nanar. Penduduk kota hujan jatuh dan tidak berdaya dibawah kakinya. Dia menyadari ada racun yang dimasukkan, ini bukan racun biasa dan tidak main-main. Semuanya mati, bahkan prajurit yang menyapanya kemarin, dia melihat mereka jatuh dan tidak bernapas.

Kepalanya kosong.

Dia baru bisa berfikir normal saat sebuah belati menggores pipinya.

Meja-meja tinggi memungkinkan musuhnya memiliki tempat bersembunyi, tetapi Choi Han tau siapa musuhnya. Bukan hanya satu, tetapi dua.

"Aku benar-benar akan memukul Cale Henituse!"

Dia menarik pedang dari prajurit yang gugur.

Dia membenci bagaimana semua ini bisa kacau balau hanya dengan hitungan hari.

.
.
.

Cale Henituse sampai ketempat tujuannya, jubah putih yang dia kenakan menyapu tanah yang agak basah.

Makam ibunya masih terawat dengan benar dan bersih, lucunya dialah yang selalu membersihkan tempat ini karena rindu.

"Aku kembali datang," Cale Henituse melangkah lebih dekat, ada bayangan ibunya yang tersenyum menyambutnya. "Apa ibu merindukanku?"

Dia tau semua seluk beluk makam ibunya, juga tempat rahasia dimana ibunya menyembunyikan sesuatu. Sesuatu yang Cale Henituse duga sebagai salah satu hal yang harus dimiliki pahlawan.

"Kenapa ibu tidak mempercayaiku saja?"

Tentang persimpangan waktu yang tidak dipercaya ada.

Dia mengambil buku harian itu.

Link- Dark Side Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang