Sebuah pernikahan yang justru membawa neraka bagi Flora. Siksa yang begitu menyesakkan bagi seorang istri yang sedang hamil. Karena Andra tetap saja berhubungan dengan Geya. Berdalih pekerjaan karena Geya adalah salah satu bawahan Andra di kantor. Andra mengasingkan Flora di rumah besar yang jauh dari perumahan kedua orangtua mereka.

Tetapi Flora tetap saja menerima. Berpikir kalau suatu saat sikap Andra pasti akan melunak padanya. Kehadiran calon anak mereka pasti bisa mengubah hati Andra yang masih keras.

Sayangnya, Flora tak sadar kalau kebencian sudah mendarah daging di hati Andra. Bahkan tiap masakan yang berusaha Flora buat pun tak pernah Andra sentuh. Bukan hanya itu, Flora bahkan rela merendahkan dirinya sendiri menggoda Andra dan yang didapatkannya adalah makian dan sebutan 'pelacur murahan'. Seolah belum cukup, Flora bahkan pernah dibentak habis-habisan oleh Andra saat dia sengaja menunjukkan lukisan-lukisannya—berharap bisa menarik sedikit perhatian pria itu.

"Kamu pikir aku jatuh cinta sama Geya karena lukisan-lukisan nggak berguna kamu itu?! Mimpi!" bentak Andra dengan emosi yang terlihat jelas di wajahnya. "Aku jatuh cinta sama Geya karena itu dia! Bukan kamu!! Dasar sialan!"

Malam itu, Andra tak pulang. Flora tahu kalau Andra pasti menginap di rumah orangtua pria itu. Dan Flora juga tahu kalau tak akan ada yang melarang, karena sejak hari pernikahan tersembunyi itu, tak ada satu pun dari keluarga mereka yang tidak mengucilkannya. Seketika Flora merasa asing di antara keluarga yang dulu selalu bersamanya. Bahkan para sepupunya pun bertindak hal yang sama. Seolah Flora adalah aib yang harus dihindari daripada membuat semua orang malu.

Hebatnya, Flora tetap saja bertahan. Cinta butanya pada Andra mungkin sudah berubah menjadi obsesi gila sampai membuatnya menjadi seorang pesakitan menyedihkan. Atau mungkin dendamnya yang membara pada Geya demi membuat kakaknya itu tidak memiliki sang lelaki membuat Flora mengesampingkan lukanya sendiri.

Pengabaian, penghinaan, makian, celaan, bentakan sampai sebuah tamparan pernah Flora dapatkan dari Andra karena melihat Geya menangis saat berada bersamanya. Padahal kejadian sebenarnya, Flora hanya diam sepanjang Geya membicarakan betapa hati kakaknya itu hancur dengan semua kekacauan yang sudah terjadi. Mereka tidak bertengkar, sama sekali. Hanya Geya yang terus menerus menangis di depannya—karena Flora tahu kalau Geya juga tak sepenuhnya bisa menerima kenyataan kalau dia sudah menjadi istri Andra.

Flora memang jahat. Dia mengakui hal itu. Tetapi Flora hanya berusaha membalas rasa sakit di hatinya pada Geya—walau justru memberi luka baru dalam hidupnya. Tetapi bodohnya, Flora terus memilih bertahan bersama Andra. Sama sekali tak peduli bahwa tak ada satu pun dari keluarga Andra yang menyambut kehadirannya dengan sukacita.

"Aku mau temenin Geya ke ulang tahun temennya. Jangan ganggu dengan kirim-kirim chat atau telepon-telepon nggak penting buat cari perhatian. Ngerti, kan?"

"Chat yang kukirim atau pun telepon yang kulakuin itu bukan buat cari perhatian, Kak. Tapi itu memang pas aku butuh kamu. Kehamilanku sedikit berat. Aku sering mual dan muntah kalau malam. Aku—"

"Nggak ada yang suruh kamu hamil anakku!" potong Andra cepat. "Kamu bisa telepon Geya waktu tahu aku mabuk, tapi kamu justru ngambil kesempatan dalam kesempitan seperti perempuan murahan!"

Itu benar. Flora memang sengaja mengambil kesempatan pada malam itu. Tetapi diteriaki kembali tentang kesalahannya membuat Flora merasa semakin getir.

Perempuan murahan katanya?

Padahal Flora berani bersumpah kalau yang menyentuhnya selama ini hanya Andra.

"Udah, nggak usah manja. Biasanya juga kamu sendirian, kan." Setelah mengucapkan kalimat itu, Andra memilih berlalu meninggalkan Flora sendirian di rumah mereka.

Our StoriesDonde viven las historias. Descúbrelo ahora