Sialnya, Reval justru tertawa tanpa dosa menyambut omelanku. "Lo nggak tahu seposesif apa dia setelah sebulan kami pacaran."

"Bukan urusan gue ya, Revaldy Sanggara," ketusku, yang justru masih dibalas tawa olehnya. Menyebalkan. "Udah, ah. Gue mau balik kerja. Jangan lupa telepon tuh pacar lo. Kalau emang udah nggak mau lanjut sama dia, ya putusin baik-baik. Jangan gantungin kayak gitu. Kapan sih, lo tobatnya? Heran!"

"Iya, iya. Pasti gue putusin," sahutnya santai. "Nanti pulang gue jemput, ya? Mau gue traktir, nih."

Raut kesalku langsung berubah menjadi senyuman lebar. "Okay!"

Selalu begitu tiap kali aku kesal dengan Reval. Dia selalu bisa membuat mood-ku baik kembali hanya dengan makanan.

Tapi, sial! Aku lupa kalau aku sedang diet!

Jadi akhirnya, ketika sampai di sebuah restoran baru yang katanya Reval adalah milik salah satu kenalannya, aku cuma makan salad sayur dan minum air putih. Reval sempat protes tapi aku tetap saja tidak mendengarkannya. Aku tidak akan membiarkannya menggagalkan dietku lagi.

"Kalau cowok lo emang beneran sayang, nggak bakal dia paksa-paksa lo buat diet."

Aku cuma mendelik saat mendengar sindiran itu. "Gue diet bukan buat Arthur, kok. Emang gue sadar diri aja," sanggahku. "Lagian muka gue lagi sensitif nih, habis liburan kemaren, jadi mau jaga makan dulu."

"Halah! Pake bohong segala," sambarnya dengan nada malas. "Kalau waktu itu lagi nggak rame, udah gue tonjok muka cowok lo."

Aku meringis kecil melihat kekesalan Reval yang tiba-tiba timbul. Aku tentu tahu kejadian mana yang sedang dibicarakannya sekarang.

Jadi tiga malam yang lalu, aku membawa Arthur ke pertemuan teman-teman kuliahku dan Reval. Kami berkumpul di sebuah restoran barat yang kebanyakan menunya adalah kesukaanku. Aku sedikit kalap karena terlalu menikmati makanan yang tersaji sampai satu kalimat Arthur saat kami semua sedang mengobrol, membuat meja kami hening seketika.

Ini udah malem tapi kamu makan lebih banyak dari aku. Nanti cantikmu hilang lho kalau gendut, Sayang.

Aku sempat mati kutu waktu Arthur bilang kalimat itu—walau sebenarnya tiga bulan setelah kami resmi berpacaran, dia memang cukup sering mengatakan tentang hal itu, tapi aku merasa kalau yang dia lakukan memang untuk kebaikanku. Itu sebabnya, aku cuma tertawa garing berusaha menghidupkan suasana yang tiba-tiba kaku karena teman-temanku di sana mulai memandang tak suka pada Arthur—yang justru terlihat sangat santai.

"Itu karena dia peduli sama gue, Reval. Nggak perlu sensitif gitu, deh," ujarku, yang langsung membuat Reval memutar bola matanya jengah. "Lagian emang gue udah mulai gendutan lagi, jadi baiknya mulai jaga makan."

"Ck! Elo itu nggak gendut, Dil, tapi semok. Bagus, kok."

Aku mencibir sebal. "Halah, pret!! Makan tuh, semok! Lo ngomong gitu karena gue sohib lo dari kecil."

Begitulah hubunganku dengan Reval yang nggak akan pernah absen dari perdebatan demi perdebatan. Tapi bersama Reval itu nggak pernah membosankan. Mungkin itu sebabnya dia bisa digilai banyak perempuan selama ini. Karena sekalipun menyebalkan, aku harus mengakui kalau dia itu ganteng. Kelewat ganteng dengan badannya yang proporsional. Dadanya—

"Sekarang lo lihatin gue kayak lagi nafsu, Dil."

—memang menyebalkan.

Seketika aku membuyarkan pemikiran konyolku tentang Revaldy Sanggara, yang pesonanya memang nggak perlu dipertanyakan lagi.

Apa aku pernah suka sama Reval?

Jelas iya!

Mana mungkin sih, aku nggak suka sama laki-laki ganteng, apalagi dia selalu ada di dekatku sejak kami berseragam putih-merah? Waktu itu kami baru masuk SMA kayaknya. Aku yang memang sudah sadar kalau dia ganteng jelas jadi baper waktu dia bela-belain menembus hujan deras cuma buat membelikanku pembalut ke minimarket yang cukup jauh karena sedang tidak ada stok pembalut di koperasi sekolah.

Our StoriesWhere stories live. Discover now