BAB X

11 3 0
                                    

Suara alarm membangunkan Alice dari mimpi buruknya. Keringat mengalir dari pelipis, jantungnya berdegup kencang, rasa sakit di dada, dan air mata membasahi pipi menjadi hal pertama yang menyambutnya di pagi hari. Kala gadis itu mengusap air matanya, ia bisa merasakan sakit hati dan ketakutannya sejenak. Baru setelah semua perasaan kembali normal, Alice lekas bangkit dari ranjang.

Mimpi semalam tidak seperti mimpi-mimpinya yang lain. Mudah terlupakan setelah ia memulai aktivitas di hari baru, mau itu mimpi buruk atau mimpi indah. Yang semalam benar-benar mengerikan, ledakan di festival bulan berkah. Lebih parahnya lagi, Alice bahkan seolah bisa merasakan jika Reene, Rayvis, dan Gilbert terkena ledakan itu.

Mencoba mengusir rasa khawatir, Alice lekas memulai kebiasaan paginya. Mandi, sarapan, lari ke stasiun, dan menunggu kereta ditemani bersin yang tak hentinya. Sambil berdiri di dekat tiang peron dua, Alice kembali mengingat kejadian kemarin saat penyakit Gilbert kambuh lagi. Ia jadi penasaran tentang kondisi si pemuda.

Dua orang gadis berseragam Morioya School melewati Alice. Kemudian berdiri dua langkah darinya. Mereka sedang asyik membicarakan sebuah berita, tentunya ponsel masing-masing di tangan. Suara mereka terdengar samar karena klakson kereta lain berbunyi. Barulah setelah kereta di peron satu berangkat, Alice bisa menangkap sedikit obrolan mereka.

"Seram sekali. Jadi Amon sengaja melakukan teror demi sihir hitam?"

"Iya, dugaannya begitu. Katanya dia terlahir sebagai darah campuran penyihir-siren. Kau tahu sendiri darah campuran membawa kutukan pada tubuhnya."

Alice tercengang. Informasi yang didapat memang belum tentu akurat, tetapi ia jadi ingat penjelasan Profesor Zeta tentang penyakit bawaan para darah campuran dan shir hitam yang mungkin bisa membantu mereka hidup. Alice pikir, alasan itu cukup masuk akal. Sebab, ia percaya seseorang melakukan tindakan mau itu bermoral atau tidak karena ada alasan kuat yang memotivasinya.

Lagi, ia kembali teringat soal semua kejadian aneh yang menimpanya. Kemunculan wanita Rorenix Tree Spirit, ramalan yang tak terbaca, firasat buruk soal festival, dan mimpi aneh semalam. Jangan lupakan peringatan Mirana yang selalu jadi kenyataan. Alice mulai menemukan benang merah dari semua itu. Rorenix Tree Spirit tidak mungkin mendatanginya jika ia tidak meminta. Itu artinya, Alice memang pernah meminta bantuannya.

Kemudian, memori gadis itu kembali memutar saat ia merasa de javu melihat pohon Rorenix pertama kalinya, serta penglihatannya yang berubah saat ia berdiri di bawah pohon itu. Alice benar-benar yakin semua itu memang terhubung satu sama lain. Namun, ada satu yang tidak ia ketahui. Ucapan Rorenix Tree Spirit dan si peramal soal urusan yang harus segera diselesaikan. Gadis rambut cokelat itu masih belum menemukan jawabannya.

Akan tetapi, apa pun urusannya itu, ia tidak ingin kehilangan temannya jika memang ledakan itu akan terjadi. Jadi, sebagai langkah antisipasi, Alice menimbang-nimbang untuk membatalkan kunjungannya ke festival. Hanya saja ia tidak tahu cara meyakinkan teman-temannya, termasuk Gilbert. Sebab, ia sudah bisa menebak jika hanya dirinya yang membatalkan, teman-temannya tetap akan memilih untuk pergi.

Memikirkan cara itu membuat kepala Alice pusing. Dengkusan keras terdengar dan si gadis mulai merutuk pelan. Ia memutuskan untuk mencari cara nanti setelah sampai di sekolah. Untuk saat ini, Alice memilih untuk membaca komik online.

~o0o~

"Besok festival bulan berkah diadakan, dan aku sudah buat rencana baru untukmu. Bagaimana kalau mengunjungi tiap tempat yang ada di sana?" tanya Reene sembari memperhatikan brosur festival.

Alice yang menopang dagu hanya mengembuskan napas tidak semangat. Ia rasa rencana Reene juga tak akan berjalan sesuai ekspetasi. "Aku jadi agak khawatir soal tempat ramai."

"Maksudmu, kau ingin membatalkan acara?"

Alice mengangguk pelan. "Mungkin aku bisa mengutarakan perasaanku nanti saja."

Reene membelalak. Tangannya meletakan brosur festival ke meja Alice diikuti wajah cemberut. "Alice, kita sudah sejauh ini. Besok kesempatan bagus untukmu, dan aku sudah memperkirakan akan menjadi hari yang romantis bagi kalian berdua. Kenapa kau mau membatalkannya? Ini kesempatan terakhirku untuk membantumu."

Alice terdiam mencerna kalimat yang terakhir diucapkan Reene. Mendadak saja muncul perasaan tidak enak saat temannya mengatakan itu. Ia kembali teringat mimpinya.

"Lagi pula, Gilbert tampaknya tidak sehat. Kemarin saja dia sesak napas, aku tak bisa memaksanya untuk datang," ujar Alice mencoba mencari alasan.

"Tapi dia sehat-sehat saja. Coba lihat." Reene menunjuk Gilbert yang tengah mengobrol dengan Rayvis di dekat jendela kelas. "Tadi pagi Ray sudah menanyakan padanya. Katanya kita bisa pergi bersama besok."

Alice mengumpat pelan. Sebenarnya ia tetap ingin pergi, barangkali firasatnya benar. Kalau mimpi semalam memang terjadi, berarti kemungkinan terburuknya besok menjadi hari terakhir mereka.

"Baiklah, aku ikut," putus Alice pada akhirnya.

Netra gadis itu memandangi Gilbert sedih. Ada banyak pertanyaan yang ingin ditanyakan, ada ungkapan yang ingin ia utarakan, dan Alice memutuskan besok harus dilakukannya. Meski tadinya ia ingin melakukannya sekarang, tetapi ia juga takut ditolak dan ketika mengunjungi festival berubah menjadi canggung untuknya.

~o0o~

Saat Alice tengah melewati pepohonan di samping koridor penghubung antar gedung, angin kencang meniup dedaunan jingga. Gadis itu terhenti sesaat, memandangi setiap helai daun yang gugur terbang terbawa bayu. Karena terbuai, salah satu tangan gadis itu menyentuh tiang penyangga koridor, kemudian menengadah mengikuti setiap gerakan dedaunan.

Embusan sang bayu membuat Alice ingin bersenandung kecil. Kebetulan tak ada siapa pun di sana, jadi ia pun menyanyikan lagu pelan. Namun, angin tak hentinya bertiup. Justru embusannya semakin kencang sampai si gadis harus memegangi rambut cokelatnya yang menutupi wajah. Saat itulah, daun-daun jingga yang tadinya terbang mengikuti angin, berputar di depan Alice hingga berubah menjadi seorang wanita yang pernah dilihatnya.

Gadis itu membelalak. Tak menyangka jika Rorenix Tree Spirit kembali menampakkan wujud, sehingga menimbulkan pertanyaan di benak Alice. Namun, dari sekian pertanyaan, yang diucapkan oleh Alice hanya satu. "Kenapa kau selalu menyuruhku untuk melakukan sesuatu yang tidak bisa kuingat?"

Rorenix Tree Spirit tersenyum. "Karena itu keinginanmu. Besok hari terakhirmu untuk melakukannya. Lakukan atau menyesal selamanya."

Setelah mengatakan itu, angin kembali berembus dan wanita itu menghilang dari pandangan. Kini, Alice bergeming. Yang dikatakan wanita tadi mengingatkannya pada satu hal yang membuat penasaran. Semua itu karena keinginannya sendiri.

Rorenix Tree Spirit membantu Alice mewujudkan keinginannya, dan si peramal bilang urusannya atau lebih tepat keinginannya harus diselesaikan sebelum menyesal. Kemudian, semua kepingan puzzle itu mengarah pada hari di mana festival bulan berkah diadakan.

"Berarti ... kalau memang aku pernah meminta Rorenix Tree Spirit untuk mengabulkan keinginanku, mimpi semalam bukan sekadar mimpi. Jangan-jangan, sejak lama aku memang mengetahui apa yang akan terjadi di hari festival," monolognya seraya membelalak.

Dengan cepat, Alice memutar tubuh dan berlari menyusuri koridor menuju gedung timur. Ia ingin menceritakan semua kejanggalan yang dialaminya, tidak peduli teman-temannya akan percaya atau tidak. Sebab, ia ingin mencoba menyelamatkan mereka.

~o0o~

Halo, terima kasih sudah baca. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote atau komentar ya (人*´∀`)。*゚+

Well, tinggal beberapa bab lagi menjelang epilog. Semoga kalian betah ya.

See you next chapter.

Indonesia, 19 Juli 2022

Stay With MeWhere stories live. Discover now