BAB V

9 7 0
                                    

Semenjak kejadian saat Gilbert jatuh pingsan di stasiun, Alice jadi tidak tenang. Sudah berkali-kali ia mengubah posisi tidur, tetapi matanya tak kunjung mau menutup. Gadis itu mencoba cara lain dengan membaca buku pelajaran Pertahanan Sihir, tetap saja ia tak mengantuk. Yang ada, perutnya keroncongan karena lapar. Padahal, Gilbert sudah pulang dengan selamat dan sempat mengirimkan pesan lewat MagChat—semacam aplikasi tukar pesan dan telepon—bahwa dirinya baik-baik saja. Akibatnya, Alice hanya tidur tiga jam. Dirinya merutuk karena lupa tidak sempat membeli obat tidur, padahal ia yakin obat tersebut berguna saat seperti ini.

Seperti biasa, pagi diawali dengan alerginya yang kambuh. Stok maskernya sudah habis, jadi gadis itu mati-matian menahan bersin dan ingus agar tidak keluar. Sebagai langkah antisipasi, ia sempat mampir ke minimarket di dalam stasiun untuk membeli kopi panas. Akan tetapi, kopi itu rupanya tidak mempan untuk menahan kantuk. Untung saja ia bertemu Gilbert dan Leonhart yang membangunkannya saat tiba di stasiun Morioya, stasiun dekat sekolahnya.

"Tak biasanya kau seperti ini," ujar Gilbert sambil menggandeng tangan Alice supaya gadis itu tak tidur sambil jalan.

"Aku tak bisa tidur," jawab Alice sebelum menguap.

Leonhart yang sedang memperhatikan ponsel, diam-diam mendengarkan. Mata cokelatnya melirik sekilas. "Tumben. Pasti memikirkan praktik kelas ramuan."

"Bukan." Alice menggeleng pelan sambil menguap. "Aku memikirkan Gilbert."

Sontak saja jawaban itu membuat dua pemuda di sampingnya terkejut. Siapa yang sangka kalau Alice ternyata mengkhawatirkan Gilbert. Semua tahu jika dia tak pernah secara terang-terangan mengatakan khawatir pada orang lain.

"Aku baik-baik saja, sungguh kau tak perlu khawatir soal yang kemarin," tukas Gilbert diiringi senyuman. Netra cokelat pemuda itu langsung memandang jalanan di depannya, sedangkan Leonhart bisa dengan jelas melihat semburat merah di wajah Gilbert.

Tak ada perbincangan apa pun lagi sampai mereka tiba di sekolah. Sebab, Alice menyadari kalau dirinya keceplosan. Rasa malu dan ingin mengubur diri menyelimuti si gadis dengan iris biru. Alice bersumpah ia tak mau berbicara dengan Gilbert dulu hingga memori kejadian barusan hilang. Namun, terkadang memori yang dianggap memalukan justru sulit untuk dilupakan.

~o0o~

Reene memukul kepala Alice dengan buku tulisnya. Ia penasaran alasan temannya itu terus menyembunyikan wajah semenjak pagi. Apalagi, sempat didengarnya jika Alice bergumam sendiri dan terus mengumpat.

"Kau ini kenapa?" tanya Reene sembari menarik kursi di depan meja Alice.

"Reene, aku malu!" Gadis bersurai cokelat terang mendongak. "Aku malah mengatakan rahasiaku."

Reene mengangguk dengan bibir membentuk garis tipis. "Lalu?"

"Di depan orangnya langsung!" Setelah mengucapkan itu, Alice kembali menunduk. Sementara tangannya dikepal kuat-kuat.

"Entah kenapa aku curiga ini ada kaitannya dengan ... cinta," ujar Reene sembari memperhatikan kepala Alice. Otaknya mulai mencari-cari kemungkinan pemuda yang disukai Alice, dan dugaannya jatuh pada satu orang di kelasnya. "Gilbert, ya?"

Sontak saja Alice menegang. Tak menyangka jika temannya tahu apa yang sedang ia gelisahkan. Perlahan-lahan, si gadis berambut cokelat langsung mendongak dengan mata melebar, kemudian dengan cepat mengangkat satu telunjuknya ke depan wajah Reene.

"Ahh, ternyata benar dugaanku," ucap Reene sambil menyingkirkan telunjuk Alice.

"Jangan beritahu siapa pun," timpal Alice. Gadis dengan netra biru bersandar dengan bahu merosot, tak ada pancaran semangat darinya, tidak seperti biasanya. "Darimana kau tahu itu?"

"Tidak sulit menebaknya. Akhir-akhir ini kulihat kau agak berbeda kalau berhadapan dengan Gilbert. Sebelum kau pingsan di koridor waktu itu, kau tampak tak senang Gilbert berbicara dengan seseorang. Lalu, waktu di pantai, mood-mu mendadak merosot padahal awalnya kau ceria. Setelah Naomi pergi, barulah kau ceria lagi."

"Kelihatan jelas sekali, ya?" tanya Alice sebelum kembali menundukkan kepala.

"Kenapa kau tidak bilang saja padanya?"

Mendengar perkataan Reene, Alice lantas mengangkat kepalanya sedikit. Ekspresi wajah gadis itu datar dengan gelengan pelan. "Aku takut dia malah jadi menjauhiku."

"Dasar konyol." Reene tertawa pelan. "Kau sudah bersamanya selama lebih dari 10 tahun. Bagaimana mungkin dia menjauhimu karena—"

"Justru itu, Reene! Gilbert dan aku berteman sejak lama, kalau tiba-tiba aku mengatakan suka padanya, apa dia tidak akan menjauhiku? Tentu saja aku khawatir pertemanan kami hancur." Alice mendengkus keras, dan kembali membenamkan kepala di meja.

Melihat temannya itu tak bersemangat, sebuah ide muncul di kepala Reene. Netra si gadis langsung menatap Alice, sebelum kedua tangannya memegang ujung kursi yang ia duduki. "Mau aku bantu? Kurasa kau bisa mengungkapkan isi hatimu tanpa ketahuan."

Alice mendongak dengan mata menyipit curiga. Kemudian, ia berkata, "Memangnya kau punya ide apa?"

Reene tersenyum disertai mata yang berbinar, lalu tubuhnya dicondongkan agar lebih dekat dengan Alice. Jadi, ia tidak perlu khawatir suaranya terdengar oleh siswa lain. "Surat cinta."

~o0o~

Leonhart bersandar di dinding samping ruang kesehatan sembari membuka buku ramuan penyembuh. Benda itu kecil, bisa muat jika dimasukkan ke saku celananya. Sampul yang tidak terlalu tebal, setidaknya dapat meringankan isi kantung. Sesekali, Leonhart membuka halaman buku dengan cepat, sementara iris cokelatnya menyapu tulisan di kertas yang terlihat sudah menguning.

Setelah membaca sampai tuntas, Leonhart mendengkus. Yang dicarinya tidak ada di sana, sehingga pemuda itu memutuskan untuk mengembalikan buku tersebut ke ruang kesehatan. Namun, sebelum masuk ke ruangan, kepala Leonhart bergerak memperhatikan sekelilingnya. Setelah dirasa aman, ia lekas masuk dengan mengendap-endap menuju lemari kaca berisi buku dan majalah lama.

"Apertium."

Mantera telah diucapkan, dan kunci di lemari kaca terbuka. Dengan begitu, Leonhart bisa memasukkan kembali buku yang sebelumnya ia curi ke dalam lemari. Kemudian, ditutup kembali pintu lemari yang terbuat dari kaca, dan gembok di sana langsung remaja itu tekan supaya terkunci. Ketika hendak berjalan keluar, netra cokelatnya membelalak melihat ada orang lain yang sedang menatapnya, berdiri di ambang pintu masuk.

"Gilbert!"

"Hart? Kau sedang apa?" tanya Gilbert dengan alis bertaut.

"Hanya mencari obat, lalu ... melihat-lihat." Leonhart mengalihkan pandangan supaya Gilbert tidak melihat kebohongannya. "Kau sendiri?"

"Sama. Aku juga butuh obat," timpal Gilbert yang langsung melenggang menuju rak berisi botol-botol dan toples obat. "Sakit kepalaku kambuh lagi."

"Tidakkah kau sebaiknya izin saja? Kalau aku jadi kau, aku lebih memilih pulang dan berisitirahat. Atau ke dokter."

Tangan Gilbert yang tengah membuka toples obat terhenti. Suara embusan napas keras terdengar setelahnya, diikuti kepala pemuda itu yang menunduk. "Kurasa untukku semuanya sama saja. Pulang atau tidak, pada akhirnya akan tetap tak ada yang berubah."

✧✧

Hai, thank you udah baca sampai sini. Jangan lupa, tinggalkan vote atau komentar, ya (。•̀ᴗ-)✧

See you next week~

19 Maret 2022

Stay With MeWhere stories live. Discover now