BAB IX

14 3 0
                                    

Akhirnya, setelah beberapa pertemuan kelas Ramuan dan Racun Sihir selalu dibatalkan akibat Profesor Zeta yang sibuk, kelas kembali diadakan. Semua siswa sudah berada di meja masing-masing untuk melakukan praktik ramuan. Semua bahan yang dibutuhkan dan buku panduan sudah tersedia.

Ketika Alice sedang membolak-balik halaman—mencari ramuan yang menurutnya mudah, mendadak ia teringat obrolannya dengan Leonhart. Ia penasaran tentang ramuan yang mungkin saja bisa menyelamatkan seorang darah campuran dari penyakit aneh bawaan. Maka, gadis itu pun mengangkat tangan saat Profesor Zeta mempersilakan siswanya menanyakan apa pun sebelum praktik dimulai.

"Ya, Nona Howell. Kau ingin bertanya apa?" tanya wanita berambut merah dengan banyak bercak di wajah.

"Maaf jika mungkin ini agak di luar konteks. Tapi aku ingin bertanya apakah ada ramuan yang bisa menyembuhkan penyakit aneh yang diderita darah campuran?"

Pertanyaan Alice membuat seisi kelas hening. Para siswa saling melirik satu sama lain sebelum menatap Profesor Zeta, menunggu jawaban.

Awalnya, wanita berambut merah itu sedikit terkejut sebelum tersenyum tipis. "Sejauh ini tidak ada ramuan sihir yang bisa menyembuhkan penyakit aneh itu."

Alice memang tidak bereskpetasi lebih atas jawaban Profesor Zeta, jadi ia hanya mengembuskan napas pasrah dengan bahu yang merosot. Netranya beralih memperhatikan kuali kecil di atas meja, merasa kasihan pada anggota keluarga Leonhart yang menderita ini.

"Banyak orang yang menyebut kalau ini bukan penyakit, tapi lebih mirip seperti kutukan." Suara Profesor Zeta kembali menarik atensi Alice. "Penyebab dari penyakit ini juga tidak diketahui, dan hanya menyerang darah campuran saja. Walaupun menyerang darah campuran, tetapi tidak semua yang mengalami ini. Darah campuran manusia-penyihir misalnya. Mereka dikenal lebih kebal ketimbang darah campuran yang lain."

"Profesor, apa ada yang pernah selamat dari penyakit aneh ini?" Alice kembali mengajukan pertanyaan.

Profesor Zeta terdiam sejenak. Lalu, menggeleng. "Aku tidak tahu. Kelahiran darah campuran lebih didominasi oleh manusia-penyihir ketimbang dengan ras lain. Kalaupun memang ada, kasusnya sedikit. Di Luxunia sendiri ada aturan yang melarang pernikahan beda ras untuk menghindari hal ini terjadi, ditambah kepercayaan lama masyarakat yang mengatakan pernikahan beda ras bisa menyebabkan kutukan. Setidaknya ini yang menekan warga Luxunia untuk tidak menikah beda ras."

"Pengecualian untuk manusia penyihir?" tanya seorang remaja lelaki di bangku paling belakang.

"Iya, pengecualian untuk manusia penyihir."

Mendengar penuturan guru ramuannya, Alice terdiam. Pikirannya mengulang kembali setiap kata yang didengarnya. Sementara itu, Reene yang berada di samping si gadis langsung mengangkat tangan.

"Apa yang ingin kautanyakan, Nona Petrova?" tanya Profesor Zeta.

"Apa memang tidak ada cara untuk menyembuhkan penyakit itu? Misalnya, sihir?" Reene tampak ragu.

Profesor Zeta mengembuskan napas pelan, lalu mengalihkan pandangan ke arah rak berisi bahan-bahan ramuan. "Ada satu cara. Menggunakan sihir hitam untuk membuatnya hidup lebih lama. Tapi ini tidak direkomendasikan karena jika kalian menggunakannya, maka kalian perlu membayarnya dengan nyawa."

Semua orang di ruangan tercekat. Mereka tahu sihir hitam sangat dilarang karena penggunaannya yang selalu meminta nyawa. Bahkan, jika ketahuan menggunakan sihir hitam, tak segan-segan pelakunya akan langsung dihukum mati. Namun, meski meminta tumbal, cara ini memang dianggap praktis untuk mendapatkan yang diinginkan.

"Baiklah, ada lagi pertanyaan?" tanya Profesor Zeta berusaha mengubah suasana yang tidak mengenakan di kelas. Namun, tak ada siswa yang mengacungkan tangan lagi. "Kalau tidak ada, silakan mulai membuat ramuan."

~o0o~

Suasana stasiun pada sore hari terlihat ramai. Banyak orang telah menyelesaikan pekerjaan dan aktivitasnya. Karena saking ramainya, lagi-lagi Alice tak mendapat tempat duduk di kereta. Gadis itu kembali berdiri diapit Gilbert dan Leonhart. Tangan kanannya yang bebas mulai membuka ponsel untuk membaca komik online.

Ketika kereta berhenti di stasiun, seorang penumpang yang terburu-buru tak sengaja menabrak tubuh Gilbert. Meski tidak keras, tetapi kepalanya tiba-tiba terasa sakit. Bukan hanya kepala, pemuda itu juga merasakan sesak di dada hingga dirinya limbung. Tentu saja hal itu membuat Alice dan Leonhart panik. Seorang wanita di depan mereka bahkan langsung memberikan kursinya supaya Gilbert bisa duduk.

Alice sama sekali tidak tahu yang terjadi pada Gilbert, tetapi firasatnya mengatakan bahwa ini bukan pertanda baik. Sementara itu, Leonhart bergerak cepat mengambil tas Gilbert, mengambil sebuah pil putih yang Alice yakini obat penahan rasa sakit. Setelah itu, Leonhart mengambil air mineral dari tasnya dan memberikannya pada Gilbert.

Tak lama kemudian, kepala Gilbert bersandar ke jendela di belakangnya seraya memejamkan mata. Leonhart baru mengembuskan napas lega setelah pemuda itu tak lagi sesak napas.

"Dia ... sakit lagi?" tanya Alice dengan nada parau.

Leonhart tak menjawab dan hanya memandangi kaki dengan sorot mata khawatir. Namun, dari balik mata cokelatnya, Alice bisa melihat ada ketakutan di sana. Gadis itu menebak jika Leonhart memang menyembunyikan sesuatu perihal kesehatan Gilbert. Ia yakin suatu hari nanti, salah satu dari mereka mungkin akan memberitahunya.

~o0o~

Alice menengadah, memperhatikan langit biru serupa matanya. Telinga gadis itu mulai menangkap suara riuh di sekitar, sampai akhirnya menangkap jelas suara Reene yang memanggilnya. Kala netra itu melirik seorang gadis berambut pirang, Alice terbelalak. Ia berdiri tepat di depan resto baru yang pernah dikunjunginya. Di seberang jalan, di mana terdapat taman luas yang dipenuhi tenda, wahana, bahkan panggung. Taman itu masih menjadi bagian dari Taman Rorenix. Dari kejauhan Alice melihat pengunjung memadati tempat festival diadakan.

Sebuah tepukan di pundak Alice membuyarkan lamunan. Gilbert berdiri di belakangnya, seraya memasang ekspresi seolah bertanya.

"Eh, kalian duluan saja, ponselku tertinggal," kata Alice seraya memutar tubuh untuk berlari ke dalam resto, mengambil ponselnya.

Reene, Gilbert, dan Rayvis mengangguk sebelum mendahului masuk ke tempat festival diadakan. Karena ponselnya tidak ada di meja yang sempat Alice gunakan, maka gadis itu menanyakan pada pelayan resto. Untung saja ponselnya sempat ketemu, dan dengan langkah riang berjalan menyusul temannya.

Akan tetapi, kakinya berhenti bergerak saat melihat Leonhart berdiri di depan pintu masuk festival. Pemuda itu bersandar di pagar seraya memainkan ponsel. Entah apa yang dilakukan Leonhart, membuat Alice penasaran.

"Kau tidak ikut bersama yang lain?" Alice berdiri di depan pemuda itu sambil memamerkan senyuman.

"Tidak. Aku sedang menunggu seseorang," sahut Leonhart tampak tidak bersemangat. Pemuda itu kembali memasukkan ponsel ke saku. "Ayo, kurasa konsernya akan segera dimulai."

"Lho? Bukannya tadi kau bilang sedang menunggu seseorang?" Alice mengernyit bingung.

"Iya, tapi kurasa itu tidak penting lagi sekarang." Leonhart berjalan lebih dulu memasuki taman, sedangkan Alice mengekorinya.

Baru saja beberapa langkah ke sana, sebuah cahaya menyilaukan dari dalam taman muncul. Berikutnya, suara ledakan keras terdengar dan Alice juga Leonhart terpental jauh ke arah jalanan di luar taman festival. Ledakan tiba-tiba itu membuat banyak orang berteriak histeris. Saat itu yang Alice pikirkan bukanlah dirinya sendiri, tetapi nasib teman-temannya yang sudah lebih dulu masuk ke sana, juga Gilbert.

~o0o~

Thank you sudah membaca bab ini. Jangan lupa tinggalkan jejak berupa vote dan komentar untuk mendukung penulis ya (~‾▿‾)~

16 Juli 2022

Stay With MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang