BAB II

24 11 0
                                    

Berkat kejadian tak terduga di kereta, Alice dan Gilbert terpaksa naik taksi terbang. Meski harganya lebih mahal dari kereta, tetapi taksi terbang menjadi satu-satunya pilihan supaya mereka berdua tidak terlambat. Selain itu, Alice bersumpah tidak mau lagi naik taksi terbang. Sebab kecepatannya berhasil membuat si gadis mual, ditambah rasanya ia seperti diajak balapan oleh pengemudi taksi terbang.

Selama jam pelajaran pertama tentang sejarah dunia, Alice benar-benar tidak memperhatikan. Perempuan itu hanya menopang dagu sembari memijat kening. Mual akibat transportasi terbang sudah hilang, tapi rasa pusing menyerang. Beruntung, gadis itu tak mendapat giliran disuruh menjawab pertanyaan. Dewi Fortuna sedang berbaik hati memihak dia. Sampai jam pelajaran selesai dan teman-teman sekelasnya mulai membicarakan tentang insiden penyerangan, Alice masih memijat kening.

"Aaaaliiiiiceeee!" panggil seorang gadis dengan surai pirang panjang. Gadis itu langsung berjongkok di samping meja Alice.

"Ada apa, Reene?" jawab si empunya meja sambil merapikan buku dan alat tulis.

"Temani aku menemui Profesor Hatori. Habis jam istirahat kita ada sesi kuis sebelum materi mantera pertahanan dimulai, dan aku disuruh menemuinya untuk mengambil kertas kuis." Reene mengedipkan mata cepat, lalu mengubah ekspresinya jadi memelas.

Alice mengembuskan napas keras. "Kau bisa ambil sendiri, kan? Aku lapar."

"Ayolah, Alice. Kau tahu sendiri aku tak mau menemui Profesor Hatori sendirian. Tatapan mata genitnya menyebalkan. Rasanya ingin aku pukul," ucap Reene. "Oh, begini saja. Temani aku, nanti kutraktir dessert di kafetaria. Deal?"

Alice tampak menimbang-nimbang. Tawaran sahabatnya cukup menggiurkan. Kapan lagi ia bisa menikmati dessert gratis? Sekaligus bisa menghemat uang juga. Senyum lebar merekah di wajah Alice, tangan kanannya langsung menyambar tangan Reene. Mereka berjabat tangan, menandakan bahwa Alice setuju dengan tawarannya. Tanpa berkata apa pun, Reene langsung bersorak senang. Gadis dengan surai pirang lekas menarik lengan Alice menuju pintu kelas. Keduanya akan pergi menemui Profesor Hatori.

~o0o~

Dua orang gadis berjalan di koridor sembari membahas insiden yang terjadi pagi tadi. Alice menceritakan semuanya yang ia tahu dengan gerakan sedikit berlebihan, bahkan nada suaranya agak dikeraskan sampai-sampai siswa yang melewati mereka menatap dengan berbagai ekspresi. Kala keduanya hendak berbelok ke koridor sebelah kanan, Alice menghentikan langkah. Netra biru langit itu menangkap sosok pemuda yang ia kenali berjalan menyebrangi taman menuju lapangan olahraga.

"Alice, ada apa?" tanya Reene yang penasaran. Si gadis pirang akhirnya turut melihat ke arah bawah melalui jendela kaca. "Oh, Gilbert."

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir tipis Alice. Ada perasaan yang tak bisa dijelaskan ketika ia melihat sosok pemuda itu. Tanpa sadar, sudut-sudut bibirnya bergerak ke atas, membentuk lengkungan senyum. Teringat kembali ketika Gilbert menggenggam tangannya erat, memastikan gadis itu berlari bersamanya menuju gerbong depan tadi pagi. Alice sebetulnya menyadari rasa suka yang ia pendam sejak lama, tetapi ia sering mengabaikannya dengan alasan mereka berdua sudah berteman sejak kecil.

Tiba-tiba senyum di wajah si gadis rambut cokelat memudar kala seorang siswi berambut merah sebahu berlari menghampiri Gilbert. Muncul rasa curiga, meski berbagai kemungkinan bisa saja mematahkan kecurigaan Alice.

"Dia pasti ada maunya. Paling-paling mengutarakan perasaan, sama seperti adik kelas lainnya," celetuk Reene seraya bersedekap.

"Oh, atau mungkin ada urusan soal eskul," timpal Alice berusaha berpikir positif. Namun, raut wajahnya berkata sebaliknya.

Lama mereka memperhatikan dua orang di bawah sana atas dasar penasaran. Sebenarnya, Alice yang penasaran, sementara Reene hanya ikut-ikutan. Penglihatan gadis bersurai cokelat mendadak kabur, dan muncul rasa sakit di kepalanya seolah baru saja kena hantaman benda keras. Kemudian, semua suara di sekitarnya turut menghilang. Alice panik, napasnya tersengal-sengal. Ia menggerakan mata ke sana kemari, lalu mengerjapkan beberapa kali agar penglihatannya kembali. Namun, yang terjadi berikutnya adalah warna-warni saling bertabrakan hingga membentuk seperti permukaan berlian yang tertempa cahaya. Lagi, Alice mengerjap. Ketika ia membuka kelopak mata, yang dilihatnya adalah dua orang remaja berbeda jenis kelamin tengah mengobrol.

Tunggu, apa ini? pikir Alice.

Dari penglihatannya, sekelilingnya seperti ada bingkai asap warna-warni yang di bagian tengah menampilkan adegan. Semua yang terjadi padanya persis seperti ia melihat melalui televisi magis. Akan tetapi, mengesampingkan tentang keanehan yang terjadi pada pandangannya, Alice terfokus ke titik yang lebih jelas. Di sana, Gilbert dan seorang gadis berambut merah berada. Gadis itu tiba-tiba berlari menyusuri pinggir lapangan, tangannya bergerak mengusap bagian bawah mata. Alice yakin sekali, gadis itu pastinya menangis. Adegan selanjutnya, sebuah piringan yang digerakkan dengan sihir, menabrak bagian kepala samping si gadis bersurai merah.

Alice terkejut, tetapi saat berkedip penglihatannya kembali normal. Bukan bingkai asap warna-warni. Terlebih lagi, kejadian tadi sebenarnya tidak terjadi. Gadis berambut merah masih berdiri di depan Gilbert, dan tampak baik-baik saja.

"Hah? Barusan itu apa?" gumam Alice seraya memegang kepalanya yang masih terasa sakit.

"Dia pergi, sepertinya ditolak," ucap Reene diikuti tawa.

"Seharusnya dia tidak lewat sana, kepalanya pasti kena piringan sihir." Kalimat itu spontan keluar dari mulut Alice. Cepat-cepat ia menutup mulut dengan satu tangan saat Reene menatapnya dengan bingung.

Namun, seolah menunjukkan bahwa perkataan si gadis berambut cokelat benar, piringan sihir mengenai kepala si gadis surai merah. Sontak saja, Alice dan Reene saling bersitatap, sebelum suara tawa keras terdengar dari mulut keduanya.

"Hebat, tebakanmu benar!" puji Reene.

"Aneh, padahal aku bukan keturunan penyihir astrum." Alice lekas mendorong tubuh Reene untuk segera beranjak dari sana. "Yang barusan itu hanya kebetulan, tapi rasanya seperti de javu."

"Oh? Mungkin saja kau pernah melihat kejadian tadi di mimpi. Konon katanya ada mimpi yang bisa kejadian," pungkas Reene.

Alice mengedikkan bahu. Tidak lagi memikirkan kejadian barusan. Namun, rasa sakit di kepalanya semakin menjadi. Menyebabkan gadis itu berhenti melangkah dengan tangan kiri berusaha menggapai tembok. Ia bersandar di sana, matanya terpejam erat menahan rasa sakit yang amat. Telinga Alice bisa mendengar suara Reene yang terus memanggil namanya. Akan tetapi, kala matanya dibuka, yang ia lihat hanyalah kegelapan. Semakin lama, kedua kakinya tak lagi bisa menopang tubuh. Pada akhirnya, Alice jatuh pingsan dan Reene berteriak histeris.

~o0o~


Thank you for reading this chapter (。•̀ᴗ-)✧

Jangan lupa tinggalkan jejak, bisa berupa vote atau komentar.

Stay With MeNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ