Kepalaku menggeleng kuat-kuat dengan linangan air mata yang tidak mau berhenti. Aku sangat kesakitan mendengar dia terus menyebut namaku seperti itu. Jangan pergi, aku ingin sekali berteriak seperti itu. Tapi aku tahu aku tak harus membuatnya semakin tersiksa.

"Kalau aku hari ini pergi, nggak perlu bilang siapa-siapa ya, Gadis..." ucapnya lagi. Tidak ada air mata yang mengalir darinya. Justru air mataku yang terus mengalir meminta dia tak mengatakan kalimat yang membuatku semakin merasa sesak.

"Aku mau tidur lagi, Gadis..." lirihnya lagi, kali ini aku melihatnya mengerjap-ngerjap sangat lambat. "Kepalaku pusing... badanku rasanya sakit semua..."

Aku sudah meraung, menggenggam tangannya dengan sangat kuat. Dokter sudah mengatakan padaku untuk bersiap akan kemungkinan terburuk, tapi aku belum siap. Aku tidak akan pernah siap.

"Aku capek banget, Gadis... maafin aku, ya..."

Rasanya duniaku hancur saat mendengar suara nyaring dan garis lurus di mesin EKG. Dokter dan suster yang berlarian masuk lalu membawaku menyingkir dari dekat Kaia sama sekali tak membuatku berhenti menangis. Aku benar-benar merasa seperti tak tahu apa yang sedang terjadi sebenarnya.

Aku kehilangan lagi. Aku kehilangan Kaia. Aku kehilangan sahabat yang sudah kuanggap seperti saudara kandungku.

=><=

Aghas

Aku membenci Kaia sejak kematian Putri—perempuan yang kucintai. Semua bukti kejahatan yang mengarah padanya membuat perasaan sayangku sebagai kakak lenyap begitu saja. Aku ingin tak mempercayai tuduhan untuknya, tapi Putra yang bahkan kakaknya saja tidak lagi bisa percaya. Semua orang membencinya, dan aku pun begitu.

Sampai ketika papa—pria yang sudah membesarkanku setelah kematian kedua orangtuaku—tiba-tiba memintaku untuk menikahi Kaia di saat aku sudah memiliki kekasih. Nesya adalah satu-satunya wanita yang berhasil membuatku membuka hati setelah kematian Putri. Sayangnya, hubunganku dengan Nesya harus menghadapi ujian karena aku tak bisa menolak permintaan papa.

Akhirnya aku menikahi Kaia. Dan itu membuatku semakin membencinya. Entah apa yang dia katakan sampai membuat papa mengambil keputusan untuk menikahkan kami.

Sepanjang kami menikah, aku bersikap sangat dingin padanya. Aku selalu berangkat sangat pagi dan pulang larut malam hanya untuk menghindarinya. Aku tak pernah menyentuh makanan apa pun yang dia buat dan mengabaikan kehadirannya yang selalu menungguku pulang. Aku bahkan sengaja masih meneruskan hubunganku dengan Nesya dan lebih sering menghabiskan waktu bersamanya. Sampai suatu hari Nesya tiba-tiba mendatangiku dengan tangisan pilu dan berteriak meminta putus karena dipermalukan oleh seseorang yang akhirnya aku tahu adalah orang suruhan papa.

Aku marah. Aku mengamuk karena tak bisa melindungi Nesya dari luka yang seharusnya tak perlu didapatkannya. Pada akhirnya, aku melepaskan Nesya. Tapi aku tetap tidak bisa menghentikan amarahku pada Kaia—yang pasti menjadi dalang dibalik tindakan papa pada mantan kekasihku.

Malam itu, bukan hanya membabi buta memaki Kaia, aku juga berakhir menjadi seorang pemerkosa. Kaia mungkin tak tahu kalau setelah dia terlelap, aku hanya bisa menatap penuh rasa bersalah karena tak bisa menahan emosiku. Aku mengusap rambutnya yang mungkin rontok karena aku sempat menjambaknya saat mengambil paksa hakku. Detik itu juga, aku merasa seperti ada yang salah dengan hatiku. Aku ingin memeluknya dan mengatakan maaf, tapi otakku langsung menolak mentah-mentah. Aku masih bersikeras kalau dia pantas mendapatkan kemarahanku.

Semakin lama, tanpa sadar aku mulai merasa tak asing lagi dengan kehadirannya di sekitarku. Aku selalu mengatakan kalimat kasar dan menyakitkan bukan semata karena kebencianku, tapi juga karena aku ingin menyadarkan diriku sendiri pada perasaan yang aku sadari mulai timbul untuknya. Aku berusaha mematikan jenis perasaan itu walau masih terbilang sangat kecil.

Our StoriesWhere stories live. Discover now