Karena sampai bulan-bulan berikutnya pun, aku masih tetap melakukan kegiatan yang sama—bahkan mulai berusaha membuka percakapan-percakapan kecil yang tentu saja tidak mendapatkan tanggapan apa pun. Aku juga selalu meminta ijin padanya tiap kali akan pergi ke mana pun—meski tak ada balasan darinya. Intinya, aku benar-benar berperan sebagai seorang istri yang sangat menghormati suaminya—walau tentu tak pernah mendapatkan balasan yang sama. Tapi aku sama sekali tak merasa marah atau pun kesal. Aku menikmati peranku, sebagai istri yang terlalu mencintainya.

"Gue tahu kalau nikah itu emang nggak melulu bikin bahagia. Tapi kalau lihat lo yang makin kurus dan kayak punya banyak beban gini, udah jelas pernikahan lo nggak sehat, Kai."

Aku hanya mengulas senyum saat di salah satu pertemuan kami, Gadis lagi-lagi mengomentari penampilanku yang katanya semakin kurus dan tidak berseri lagi. Aku bahkan sama sekali tidak sadar kalau tubuhnya lebih kurus dibanding sebelumnya, karena aku merasa baik-baik saja.

Tapi sepertinya aku salah. Karena di bulan ke delapan pernikahanku, aku merasakan pusing yang tak lagi bisa kutahan seperti sebelum-sebelumnya. Tubuhku juga terasa sering lelah, padahal aku tak mengerjakan banyak hal berat dalam satu hari. Sesekali aku juga mendapati darah keluar dari hidungku. Tapi saat itu aku tak terlalu ambil pusing karena sejak dulu aku memang kerap mimisan tiap kali kelelahan.

Aku bertahan sampai hampir satu bulan dengan keadaan yang terus seperti itu, tapi akhirnya aku justru pingsan saat sedang jam makan siang di kantor. Rekan kerjaku yang membawaku ke dokter dan saat aku tersadar dokter justru memintaku melakukan MRI. Dan satu minggu kemudian, aku hanya bisa terpaku saat dokter memaparkan hasil pemeriksaanku.

Kanker otak stadium III.

Selama dokter menjelaskan kondisiku yang bagiku terlalu tiba-tiba itu, aku hanya bisa diam tanpa benar-benar mendengarkan. Dokter mengatakan kalau gejala awal dari kanker itu seharusnya sudah kurasakan sejak lama tapi mungkin aku abai. Entahlah. Mana mungkin aku ingat di saat aku terlalu sibuk dengan semua kejadian pahit dalam hidupku. Dokter juga menjelaskan penanangan seperti apa yang bisa dilakukan untuk mengobatiku karena kanker stadium III akan menyebar lebih cepat dan bersifat ganas.

Tapi aku masih juga diam dan justru meminta waktu untuk mengambil keputusan. Jadi akhirnya, dokter hanya memberikanku obat yang harus kuminum secara rutin. Sekalipun dokter mengatakan padaku untuk tidak berkecil hati karena masih ada cara untuk memperlama penyebaran sel kankerku, tapi aku jelas sadar kalau hidupku tidak akan lama lagi.

Pada akhirnya, hari itu aku keluar dari ruangan dokter dengan kepala menunduk dalam.

Aku merasa tidak pernah membunuh Mbak Putri, tapi kenapa hidupku justru terus menyedihkan setelah kematiannya? Atau sebenarnya tanpa sadar memang aku yang sudah membunuhnya dan menyimpan semua kejahatanku di alam bawah sadarku?

Mungkin saja, kan?

Buktinya, Tuhan lagi-lagi menghukumku dengan memberikan kanker yang tiba-tiba saja sudah memasuki stadium III. Lucu sekali. Tapi air mataku justru mengalir sangat deras sampai dadaku terasa sangat sesak.

Aku akhirnya sadar, kalau Tuhan sepertinya memang membenciku.

=><=

Tadinya, setelah berkeliling tak tentu arah setelah pulang dari rumah sakit, aku ingin menghubungi Gadis untuk memberitahukan tentang hasil pemeriksaanku. Tapi saat aku sadar kalau Gadis pasti akan sangat histeris, aku mengurungkan niatku. Karena dua tahun lalu, ibunya Gadis juga meninggal karena kanker walau jenis kanker yang berbeda. Jadi lebih baik aku tidak membuka luka Gadis kembali.

Itu sebabnya, aku memilih pulang dan segera tidur. Untuk malam ini, aku mungkin tidak akan menunggu suamiku pulang. Tidak dengan kondisiku yang sangat menyedihkan sekarang.

Our StoriesOnde histórias criam vida. Descubra agora