12 - Good Papa

14.8K 663 3
                                    

"Kamu beneran nggak mau ke rumah sakit aja?"

Setelah memarkirkan mobilnya di depan rumah, Dipta menoleh ke arah Viora yang tampak tak berdaya. Perempuan itu bersikeras menolak Dipta yang ingin mengantarkannya ke rumah sakit.

Mendengar pertanyaan Dipta, lagi-lagi Viora menggelengkan kepalanya, pertanda tak mau. Yang dia inginkan hanyalah tidur, setidaknya untuk saat ini.

"Ya udah, ayo turun!"

Dipta kemudian keluar, mengitari mobilnya, pria itu membukakan pintu untuk Viora dan memapahnya untuk sampai ke dalam rumah. Baru menginjakkan kakinya di dalam rumah, Viora sudah merasa mual yang tak tertahankan. Perempuan itu lantas langsung berlari ke kamar mandi yang berada di dekat dapur.

Dipta panik ketika melihat Viora, dia menyusul perempuan itu ke dalam kamar mandi hanya untuk mendapatinya yang memuntahkan cairan bening ke dalam wastafel.

Dipta menatap wajah Viora yang semakin pucat saja. Dia bersiap di belakang tubuh perempuan itu yang terlihat lemah. Baru hendak bertanya apa yang Viora rasakan, perempuan itu sudah kembali memuntahkan sesuatu dari dalam perutnya.

"Selesaiin dulu!" Dipta berkata dengan sangat lembut. Sambil tangannya memijat tengkuk Viora. Kekhawatirannya semakin menjadi ketika perempuan itu tak menjawab dan hanya memejamkan matanya.

Lalu, setelah dirasa sudah mendingan, perempuan itu membasuh wajahnya dan berbalik menghadap Dipta yang masih menatapnya khawatir.

"Apa yang kamu rasain, Viora?" tanya Dipta menatap perempuan itu lekat.

"Mual sama pusing, Pak," jawabnya pelan. Dipta membantu Viora keluar dari kamar mandi. Karena tak sabar dengan langkah Viora yang kecil, akhirnya Dipta membopong perempuan itu untuk sampai ke dalam kamarnya. Viora tak menolak, dia hanya pasrah karena memang tubuhnya sangat lemas.

Setelah membaringkan Viora di kasurnya, Dipta mencari minyak angin di laci. Setelah ketemu, pria itu menuangkannya ke telapak tangan dan berniat mengoleskannya ke Viora.

"Nggak mau, Pak Dipta. Baunya nggak enak," tolak Viora mengapit cuping hidungnya dengan dua jari. Kepalanya menggeleng keras. Dipta menghela napas, ingin memaksa namun dia tak tega.

"Jangan bikin saya khawatir, Vio. Saya panggilin dokter, ya?" tawar Dipta. Tisu di atas meja dia ambil untuk membersihkan tangannya yang berlumuran minyak angin.

"Nggak usah, Pak Dipta. Saya cuma pengin tidur," ungkapnya.

"Serius?" tanya Dipta tak yakin. Namun, anggukan dari Viora akhirnya membuat Dipta percaya.

"Bapak balik ke sekolah aja, saya nggak apa-apa di rumah sendiri," kata Viora pengertian.

Namun, Dipta menggeleng merespon Viora.

"Saya temenin kamu, ya. Saya nggak bakal balik ke sekolah," paparnya yakin. Viora malah merasa tak enak, seharusnya Dipta tak perlu seperti itu kepadanya.

"Pak Dipta ... saya nggak apa-apa. "

"Vio ... udah, ya. Nurut sama saya! Saya pengin temenin kamu, jangan bikin saya jadi pria yang nggak bertanggung jawab dengan ninggalin kamu di saat seperti ini," pinta Dipta yang mampu membuat Viora terdiam tanpa suara.

Namun, akhirnya Viora menggangguk, mengakibatkan senyuman manis terbit di wajah Dipta.

***

Entah mengapa, wajah Dipta terlihat berseri ketika meninggalkan super market setelah membeli beberapa bahan makanan dan juga susu ibu hamil untuk Viora. Hal yang membuat Dipta salah tingkah sampai tersenyum sendiri dalam perjalanan pulang adalah ucapan selamat yang petugas super market berikan kepadanya.

Ketika Dipta membeli susu ibu hamil, dia meminta penjaga super market untuk membantunya memilih. Mereka juga sedikit mengobrol, dan petugas itu menyanjung Dipta, mengatakan bahwa Dipta adalah calon ayah yang siaga.

"Nggak nyangka banget mau punya anak," gumamnya lagi-lagi tersenyum.

Jika beberapa hari yang lalu dia frustrasi karena mengetahui Viora hamil, entah mengapa dia merasa senang karena akan menjadi seorang ayah. Dipta tak bisa membayangkan bagaimana rupa bayinya ketika lahir. Pasti dia akan terlihat lucu dan menggemaskan, seperti Viora tentu saja.

Berbicara tentang Viora, perempuan itu masih terlelap ketika Dipta meninggalkannya tadi. Beberapa saat setelah Viora tidur, Dipta menelfon Mamanya, Utari, untuk menanyakan tentang keadaan Viora.

Setelah mengatakan gejala-gejala yang Viora derita, terungkap bahwa Viora mengalami morning sickness. Utari lantas menyarankan Dipta untuk membeli makanan yang akan mengurangi rasa mual Viora.

Dipta pikir Utari akan marah kepadanya karena telah menghamili anak gadis orang. Memang, Utari sempat marah padanya. Namun, setelahnya wanita itu malah kegirangan karena sebentar lagi akan memiliki cucu. Dipta juga berpikiran bahwa Utari tak menyukai Viora, namun lagi-lagi Dipta salah ketika Utari malah memperlakukan Viora penuh kasih selayaknya anaknya sendiri.

Ketika sudah sampai di rumah, Dipta melihat seorang wanita paruh baya yang tengah berbicara dengan Viora di teras rumah. Dari dalam mobil, obrolan mereka sedikit serius. Dipta penasaran, namun tak bisa mendengar obrolan mereka.

Akhirnya, pria itu turun dan menghampiri Viora dan wanita asing itu.

"Kamu emang sukanya nyusahin!"

Dipta dapat dengan jelas mendengar makian yang wanita itu lontarkan kepada Viora. Viora sendiri hanya menunduk tak berani membantah.

"Ibuk ini siapa, ya?"

Kedatangan Dipta membuat Viora dan wanita itu mengalihkan pandangannya. Berdiri di sebelah Viora, Dipta merangkul bahu perempuan itu dengan tatapan tak suka yang dia layangkan ke wanita tak dikenal itu.

"Loh, Anda yang siapa?"

Sarah, wanita yang ternyata adalah Tante dari Viora itu bertanya dengan nada tak suka yang menyertai. Tatapan sengit dia layangkan ke pria itu.

"Saya kekasih Viora. Ini rumah saya, ada keperluan apa Ibu ke sini?"

Dipta masih bersikap sopan, tak ingin menimbulkan keributan di rumahnya.

"Oh ... pinter kamu, ya! Masih sekolah tapi udah pacaran, sama mas-mas yang lebih tua lagi. Kamu jadi simpanan, ya?"

Perkataan pedas itu Sarah tunjukkan kepada Viora. Hati Viora sakit mendengar tuduhan dari Tantenya, ingin marah namun percuma. Sementara Dipta merasa tak terima dengan hinaan yang Sarah berikan untuk Viora, calon istrinya.

"Buk, maaf. Jika nggak ada kepentingan lain, Ibu boleh pergi," usir Dipta secara halus.

"Saya mau jemput keponakan saya, Mas! Mas jangan ikut campur!"

Wanita yang berdandan menor itu terlihat begitu kesal. Kedatangannya adalah untuk meminta Viora pulang bersama, yang nantinya akan dia berikan lagi ke Banun. Uang yang Banun berikan sebagai bayaran atas Viora sudah diambil kembali, alasannya adalah karena Viora kabur. Untuk itu, Sarah ingin mendapat Viora kembali demi uangnya bisa kembali.

"Saya nggak kasih izin, ini kekasih saya!" ungkap Dipta posesif.

"Saya Tantenya Viora, saya nggak ngerestuin hubungan kalian," tekan Sarah tak mau kalah.

Dipta tertawa kecil, terkesan mengejek. "Nggak ada Tante yang mau ngejual keponakannya sendiri, kan? Itu menjijikan, Buk!"

"Apa kamu bilang? Sa-"

"Udah, ya. Saya nggak pengin ada keributan di sini. Ini, uang buat Ibu. Anggap aja saya beli Viora. Itu yang mau Ibu lakuin, kan? Ngejual keponakan Ibu sendiri. Setelah ini, saya harap Ibu nggak ganggu kekasih saya lagi."

Dipta memotong ucapan Sarah cepat, puluhan lembar uang dia berikan kepada Sarah. Setelahnya dia membawa Viora masuk ke dalam rumah, hanya untuk mendapat perempuan itu yang menangis sesegukan.

"Takut, Pak," cicitnya menunduk dalam.

"Hei, Vio. Udah, saya bakal ngelindungin kamu, kamu aman sama saya," gumamnya menarik Viora ke dalam pelukannya. Setidaknya, dia ingin membuat Viora merasa tenang.

My Little Wife Où les histoires vivent. Découvrez maintenant