• 26 •

11 5 0
                                    

"Lo tau, gak? Kemarin orang tuanya si Virda di panggil

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lo tau, gak? Kemarin orang tuanya si Virda di panggil. Waktu kasus pembullyan teman sekelasnya, dia yang paling semangat, sih. Apalagi videonya sampe tersebar gitu," ucap salah satu siswi yang tengah melintas di hadapannya.

Malvin hanya mendengarkan dengan satu tangan yang ia masukkan ke dalam saku. Netranya melihat ke arah lapangan, seolah dia masa bodoh dengan sekitar.

"Papanya pasti malu banget. Bukannya selama ini kalau di wawancara Papanya selalu nyebutin nama dia? Bahkan ngomongin yang baik-baik, gak tau aja gimana kelakuan anaknya yang sebenarnya."

"Terus yang lain gimana? Temennya juga ikutan, kan?"

"Si Amel sama Nada juga ikutan di skors, sih. Dapet point pelanggaran juga."

Berada di perempatan, Malvin membelokkan langkahnya ke arah kiri. Syukurlah semua perjalan seperti yang semestinya. Ia sempat berpikir bahwa Papanya Virda akan menggunakan kekuasaannya untuk kasus kemarin. Tapi nyatanya, pria itu tak membela Virda sama sekali.

Setidaknya, Malvin bisa bernapas sedikit lega karena orang-orang yang menganggu Shafa sudah mendapatkan hukumannya. Point pelanggaran dari Bu Ama gak pernah main-main. Kalau sekali lagi mereka membuat masalah, bisa di pastikan akan langsung dikeluarkan dari sekolah. Nama mereka jelas akan tercoreng sebagai murid yang bermasalah.

Berhenti di depan ruang klub, Malvin menghela napasnya pelan ketika melihat Ghalih yang justru tertidur. Remaja itu berdecak pelan sebelum kembali melangkahkan kakinya. "Kalau gini gimana gue bisa yakin bakalan menang?" gumamnya dengan bibir mengerucut.

Ghalih itu sangat susah diajak kerjasama. Saat Malvin mengatakan ambisinya untuk menang, Ghalih hanya menganggukkan kepalanya dan sesekali berdehem ringan. Sikap Ghalih terlalu masa bodoh, dan itu membuat Malvin merasa cukup frustasi.

Namun, ketika sedang dalam mode serius, Ghalih seolah memiliki kepribadian yang berbeda. Remaja itu tak akan menoleh bahkan ketika bola basket di lemparkan ke wajahnya.

"Ghal-"

"Assalamualaikum," potong Bu Rara dengan tiba-tiba. Wanita itu langsung menuju meja miliknya dengan beberapa lembar kertas yang ada di tangan.

Malvin langsung duduk di tempatnya, sementara Ghalih langsung membuka matanya. Wajahnya ia usap dengan kasar untuk menghilangkan rasa kantuk yang masih bersemayam.

"Sesuai apa yang telah di infokan di awal kemarin, bahwa kita akan mengadakan lomba pada tanggal tiga belas Juni," ucap Bu Rara sebagai pembuka. Wanita itu mengecek ponselnya untuk melihat tanggal.

"Sekitar lima hari dari sekarang, kalian akan bertempur melawan sekolah lain. Bagaimana persiapannya?" tanya Bu Rara. Yang lain saling pandang karena gugup.

Malvin menghela napasnya, kemudian menunduk secara perlahan sembari memainkan jari-jarinya. Kalau dugaannya benar, maka lembaran kertas yang tadi Bu Rara bawa adalah latihan soal yang mereka kumpulkan kemarin.

Ia hanya tidak siap dengan apa yang mungkin saja ia peroleh kali ini. Mau sebanyak apapun menghabiskan waktu untuk belajar, Malvin selalu merasa kurang.

"Ghalih, ambil latihan kamu," ucap Bu Rara sembari menyodorkan kertas dalam genggamannya. Ghalih segera beranjak dan melihat nilai yang tertera di pojok kanan atas. Senyumnya mengembang begitu saja sembari menatap pada Malvin.

"Dapet berapa?" tanya Malvin penasaran.

"Salah dua doang." Ghalih memasang wajah songong, membuat Malvin meliriknya dengan sinis.

"Malvin," panggil Bu Rara. Dengan langkah yang terasa berat, Malvin menghampiri wanita itu untuk mengambil kertas latihan miliknya.

Awalnya ia kira, ia akan berada di atas Ghalih mengingat selama ini ia sudah belajar mati-matian. Berbanding terbalik dengan Ghalih yang justru terlihat santai meski ia baru saja bergabung dan waktu lomba tinggal beberapa hari lagi.

"Ah, salah tiga. Cemen lo," ejek Ghalih dengan wajah menyebalkan. Remaja itu tertawa ketika melihat nilai milik Malvin yang berada di bawah miliknya.

Melipat kertas itu dengan perlahan, Malvin tersenyum tipis hingga nyaris tak terlihat. Gak papa, cuman beda satu, batinnya berusaha menenangkan diri sendiri. Setidaknya, dari sini ia bisa tau bahwa Ghalih bukanlah orang yang bisa ia anggap remeh. Ia bisa kembali menaruh harapan atas kemenangan yang mungkin saja ia peroleh nantinya.

. . .

"Ada yang ketinggalan gak, Fa?" tanya Ibu sembari mengecek barang bawaan pada tas selempang yang ia kenakan. Sementara Shafa menghitung koper sebelum di masukkan ke dalam mobil.

"Gak ada, Bu," balasnya.

Maudy melipat tangannya di depan dada. "Nanti kalau ada yang ketinggalan bisa aku paketin, kok," katanya dengan bibir yang sedikit mengerucut.

Melihat itu, Ibu mendengkus pelan dan berjalan ke arahnya. "Gak usah sok ngambek, kamu yang milih gak mau ikut sama Ibu."

"Siapa yang ngambek? Aku biasa aja." Kemudian, sang gadis membuang pandangannya hingga netranya tak lagi bertatapan dengan milik Ibu. Sebenarnya, bukan pilihannya yang membuat Maudy bersikap seperti ini. Maudy hanya berpikir, bahwa Ibu pergi terlalu cepat dan terburu-buru. Ia jadi harus tinggal sendirian di sini bersama Tante Salamah.

Salamah-wanita berkerudung panjang yang merupakan adiknya Bapak itu berjalan mendekat dan mengelus pundak Maudy dengan lembut. "Mbak tenang aja, Maudy bakalan aman sama aku. Yang penting Mbak di sana bisa membuka lembaran baru, Maudy bisa nyusul kalau kangen, kan?"

Ibu tersenyum simpul. "Makasih banyak, Sal. Maaf juga karena Maudy nantinya bakalan ngerepotin. Kalau dia nakal pukul aja," ucap Ibu sembari melirik Maudy yang terlihat misuh-misuh.

Beralih pada putri bungsunya, Ibu menggenggam erat tangan Maudy dengan senyumnya yang selalu menenangkan. "Jangan nakal dan buat Tante Salamah jadi kerepotan. Kamu udah besar, buktinya milih pisah sama Ibu, kan? Gak ngikutin Ibu lagi kemana-mana, padahal dulu kamu yang paling gak mau kalau Ibu tinggal walaupun cuman sebentar."

"Ih, Ibu aku jadi pengen nangis, nih!" seru Maudy tak terima. Shafa tertawa renyah ketika melihat Maudy sungguh menangis dan mengusap kasar air mata yang membasahi pipinya.

Ketika sopir taxi mulai masuk ke dalam mobil, Shafa segera memanggil Ibu. Adegan pelukan sebagai tanda perpisahan itu terjadi cukup dramatis karena Ibu pun tak ingin berpisah dengan putri bungsunya. Tapi di lain sisi, ia ingin menghargai keputusan Maudy yan bersikeras ingin tetap di kota ini.

Katanya, banyak kenangan bersama Bapak yang tak ingin Maudy lupakan begitu saja.

"Kalau ada apa-apa jangan lupa hubungi Ibu, lho!" peringat yang Ibu ucapkan berkali-kali itu membuat Maudy merasa bosan mendengarnya. Tubuh Ibu ia putar secara paksa dan ia dorong hingga mendekati pintu masuk ke dalam taxi.

"Iyaa, aku ngerti. Kalau Ibu ngomong gitu terus, yang ada bisa sampe ketinggalan pesawat."

Ibu menghembuskan napas pelan dengan tatapan lesu. "Jaga diri baik-baik, ya, Nak?" katanya sebelum benar-benar masuk ke dalam dan menutup keras pintu taxi.

Maudy hanya berdehem, kemudian melambaikan tangannya tinggi-tinggi sebagai perpisahan pada Ibu dan juga kakaknya. Sekarang, ia benar-benar sendirian di kota kelahirannya. Dan ia cukup yakin bahwa pilihannya saat ini tak salah. Meski kini ada semburat rindu yang muncul, padahal mereka baru berpisah.

___

PancaronaWhere stories live. Discover now