• 22 •

11 5 0
                                    

Selembar roti tawar Shafa gigit, sementara tangannya sibuk mengikat tali sepatu

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Selembar roti tawar Shafa gigit, sementara tangannya sibuk mengikat tali sepatu. Ibu yang melihat tingkah putrinya di pagi-pagi buta lantas menggelengkan kepalanya. "Ini bekalnya jangan lupa di makan," ucap Ibu seraya memberikan satu kotak berisi nasi beserta lauk pauknya pada Shafa.

"Emang kamu bakalan kuat cuma makan roti satu? Kalo gurunya belum masuk nanti makan aja dulu, Fa." Shafa berdiri dari duduknya setelah selesai dengan kegiatannya.

Tangannya terulur, hendak menyalami Ibu. "Iya, nanti aku makan, kok. Ih, si Maudy juga bukannya bangunin malah pergi duluan!" Shafa berdecak kesal, membuat Ibu mendengkus.

"Yang salah kamu, siapa suruh nyari alesan tidur lima menit dulu? Padahal Maudy udah bangunin tadi. Lagian dia udah di jemput si Haris."

Shafa menghela napasnya, pipinya menggembung ketika roti tawar yang ia gigit kini ia kunyah. Sebenarnya ia tak akan merasa kenyang hanya dengan makan selembar roti. Tapi mau bagaimana lagi? Kalau ia memaksakan makan, yang ada ia telat sampai ke sekolah.

Melihat ojek pesanannya sudah sampai di depan rumah, Shafa kembali menatap Ibu. "Aku pergi dulu, Bu," katanya, lalu memberi salam.

Semalam, Ibu sempat bercerita mengenai kebangkrutan perusahaan hingga pemecatan masal di tempat kerjanya. Shafa tak menanggapi apapun selain mendengarkan apa yang Ibu ceritakan. Ketika pukul sepuluh malam, ia baru tersadar kalau hari ini akan ada ulangan harian. Karena itu Shafa belajar hingga larut malam dan berakhir kesiangan.

Awalnya Ibu tampak sedih, bahkan matanya berkaca-kaca ketika bercerita padanya. Tapi pada akhirnya, Ibu bilang ada temannya yang akan menolong dan memberikan wanita itu pekerjaan. Ibu akan pergi ke tempat temannya pagi ini, makanya tak bisa mengantarkan Shafa ke sekolah meski dengan embel-embel telat.

Sampai di depan gerbang, Shafa segera melepas helm yang ia kenakan dan memberikan lembaran uang pada tukang ojek. Gadis itu sempat berterima kasih sebelum beranjak pergi menuju pos satpam.

"Telat semenit," kata Pak Abdul, satpam sekolah. Pria itu tampak melipat tangannya di depan dada.

Wajah Shafa terlihat sedikit panik. "Tapi Pak-"

"Saya maklumi karena wajah kamu asing, artinya kamu gak pernah telat sebelumnya, kan?" potong Pak Abdul sebelum sang gadis menyelesaikan kalimatnya. Wajah Shafa berubah linglung. Ia gak pernah mengira Pak Abdul akan sebaik ini dan mengizinkannya masuk begitu saja.

Padahal, menurut berita yang tersebar, Pria itu lebih galak dari Bu Ama yang terkenal killer. Ketika pintu gerbang di buka, Shafa menundukkan kepalanya sopan dan mengucapkan terimakasih berulangkali.

Sebenarnya ulangan ada di jam kedua mata pelajaran sosiologi. Tapi kalau Shafa di hukum, ia jadi gak bisa mengulang pelajaran yang susah payah ia hafalkan tadi malam.

Langkahnya sedikit memelan ketika sampai di depan pintu kelas. Bu Ama sudah berada di dalam sana, keadaan sedikit ricuh. Shafa sedikit menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi di dalam sana. Tapi ketika netranya menangkap peralatan make up yang tergeletak di atas meja, netra gadis itu sedikit terbelalak.

PancaronaWhere stories live. Discover now