• 14 •

18 9 2
                                    

Berhubung karena keduanya sibuk mengerjakan latihan soal sejak jam pelajaran pertama, Malvin jadi merengek pada Bu Rara agar mengizinkan dirinya dan Shafa untuk makan di kantin saat siswa yang lain sudah mulai masuk ke dalam kelas, melanjutkan pel...

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Berhubung karena keduanya sibuk mengerjakan latihan soal sejak jam pelajaran pertama, Malvin jadi merengek pada Bu Rara agar mengizinkan dirinya dan Shafa untuk makan di kantin saat siswa yang lain sudah mulai masuk ke dalam kelas, melanjutkan pelajaran yang sempat terpotong karena jam istirahat.

"Harusnya kita ikut ke kantin pas mereka istirahat tadi, jadi jam pelajaran gak kepotong banyak, Vin. Soalnya kita gak masuk kelas dari jam pertama." Shafa menyendokkan makanannya ke dalam mulut, sedikit tak acuh pada Malvin yang justru sibuk dengan ponsel daripada makanan di hadapannya.

"Ih, habisin dulu makanannya!" ucap Shafa agak kesal. Dahi Malvin yang semula mengkerut kini melonggar sembari mendengkus kesal, game yang tengah ia mainkan tak mencapai kemenangan.

Meneguk es miliknya, Malvin menatap pada Shafa. "Habis ini lo mau balik ke kelas, kan? Ntar kalo anak kelas gue ada yang nanya bilang aja gue di UKS, ya? Kobam soal olimpiade."

"Beneran mau ke UKS?"

"Enggak, lah! Mau bolos, hehe."

Shafa memutar bola matanya malas. Detik-detik ketika Malvin menyeret tangannya menuju kantin setelah merengek pada Bu Rara tadi, kembali terlintas di kepalanya, membuat Shafa tersenyum malu dengan pipi bersemu.

Malvin justru bersikap cuek. Remaja itu kembali fokus pada game-nya dan mengabaikan Shafa yang tengah memandang wajahnya lamat-lamat. Ah, Shafa jadi merasa wajar kalau orang seperti Nada bisa menaruh perasaan suka pada sosok Malvin.

Selain terlahir dari keluarga kaya, wajah Malvin juga termasuk dalam kriteria tampan yang menjadi idaman para gadis. Tanpa sadar, Shafa terkikik geli.

Malvin melirik sekilas dengan ekor matanya. "Gue kira lo gak pernah mabok karena ngerjain soal olimpiade, ternyata ada saatnya juga, ya? Kalo gak kuat mending besok kita gak usah latihan dulu, deh, Fa."

"Enak aja! Kalo gitu lo bakalan ketinggalan jauh, lah!"

Malvin tertawa renyah ketika melihat ekspresi Shafa. Sementara sang gadis justru kembali hanyut dalam lamunannya. Kehadiran seorang gadis yang ia lihat di tribun tadi, membuat senyum sang gadis luntur begitu saja.

"Malvin," panggilnya pada sang remaja. Ada nada ragu yang tersirat, namun Shafa tak bisa membiarkan perasaan tak tenang semacam ini terus bersemayam dalam hatinya.

Alis Malvin terangkat, seolah tengah merespon panggilan yang Shafa tujukan untuknya. Namun pandangannya masih terfokus pada benda pipih yang berada dalam genggamannya.

Shafa menghela napasnya sejenak sebelum melanjutkan. "Siapa cewek yang tadi?"

Tangan Malvin yang tengah bergerak lincah di atas layar ponsel berhenti begitu saja dengan tatapan terkejut. "Lo ... Liat, ya?"

"Yakali gak liat. Gue, kan, punya mata!"

Malvin menegakkan tubuhnya, lalu berdehem ringan untuk menetralisir rasa aneh yang hadir dalam hatinya. Selama ini, ia tak pernah sekalipun bercerita mengenai perasaan pribadinya pada orang lain. Bahkan pada Diana sekalipun, meski ia terlihat dekat dengan Ibu tirinya itu.

Tengkuknya yang sama sekali tak gatal ia garuk dengan pelan. "Gini," ucapnya sebagai pembuka. Menatap pada manik sang gadis yang penuh dengan rasa penasaran, Malvin jadi ingin tertawa. Shafa terlihat lucu dengan pipi gembulnya yang terisi makanan.

"Eum, lo inget waktu gue lagi ngefoto di depan ruang klub fotografi?"

Kepala Shafa mengangguk pelan sembari mengingat hari itu. Kemudian, Malvin menjentikkan jarinya hingga terdengar bunyi nyaring.

"Nah, itu! Waktu itu gue lagi ngefoto cewek. Duh, gue jadi malu."

Perlahan, kepala Shafa menunduk. Ada perasaan tak suka dalam hatinya. Namun, melihat wajah Malvin yang terlihat berseri ketika menceritakan sosok gadis itu, Shafa jadi menyunggingkan senyum lebar meski terpaksa.

"Oh, jadi ... Lo suka cewek itu?"

"Iya, gue suka dia!" jawab Malvin cepat.

Shafa mengangguk-anggukan kepalanya seraya tersenyum tipis. Seharusnya gue gak nanya, batin sang gadis. Ketika mulutnya hendak kembali terbuka, bunyi bel tanda pergantian pelajaran terdengar mengisi tiap koridor sekolah.

Malvin beranjak dari duduknya, sementara Shafa kembali mengatupkan bibirnya seraya mendongak pada sang remaja. "Udah selesai, kan? Gue duluan ya?" pamit Malvin. Remaja itu sempat ke stand kantin sejenak, membayar makanan miliknya dan milik Shafa.

"Jangan ikut bolos, Fa!" teriak Malvin sembari melambaikan tangannya. Shafa hanya diam tak membalas. Selama ini ia selalu dekat dengan sang remaja, tapi kenapa ia baru tau kalau Malvin memiliki seseorang yang ia suka?

. . .

Ketika kembali ke kelas, Bu Ama yang sudah mendapatkan informasi dari Bu Rara membiarkan Shafa masuk ke dalam kelas tanpa banyak tanya.

Lirikan dari Nada membuat Shafa melakukan hal yang sama. Namun, Nada memutuskan kontak mata diantara keduanya dengan cepat.

Bu Ama menumpu tangannya di atas meja, membetulkan kacamatanya sejenak dan kembali bersuara, " Seperti apa yang sudah saya katakan tadi, untuk tugas kelompok seni budaya, pembagian anggota kelompoknya saya serahkan pada sekretaris kelas."

Beberapa orang terdengar mendesah lesu karena tak suka dengan keputusan yang Bu Ama berikan. "Semua ini saya lakukan supaya adil! Bagi yang gak suka silahkan keluar kelas sekarang juga!"

Kelas mendadak hening. Bu Ama kalau sudah emosi memang membuat atmosfer sekeliling menjadi mencekam. Tak ada yang berani kembali membuka suara. Bu Ama menghela napasnya sejenak.

"Beberapa minggu ini make up gak akan di sita anggota OSIS karena saya sendiri sudah mengonfirmasikan terkait pembelajaran kita sama pembinanya. Jadi bawa aja make up-nya ke sekolah, oke?"

Ambil nilai tata rias? batin Shafa. Jantungnya mendadak berdegup kencang. Matanya melirik pada Nada yang juga tengah menatap ke arahnya. Gadis itu tersenyum di sebarang sana, membuat Shafa meneguk salivanya dengan kasar.

Virda adalah sekretaris kelas, dan sialnya Nada dan Virda adalah teman dekat sejak awal masuk sekolah. Artinya, Nada bisa saja membujuk Virda untuk membuat dirinya dan Nada dalam satu kelompok.

Sial, entah kenapa di saat seperti ini Shafa jadi ingin kembali menghilang dari dunia. Setidaknya sampai hari pengambilan nilai itu selesai dan ia bisa kembali dengan perasaan tenang.

"Fa, lo sekelompok sama siapa?" Amelia yang duduk di hadapannya kini membalikan badannya sekedar untuk bertanya.

"Gatau, " jawab Shafa dengan gelengan pelan.

Amelia mengangguk, kemudian melirik pada Nada yang tengah tersenyum ke arahnya. "Sekelompok sama gue aja," ujarnya.

Shafa mengernyitkan keningnya ketika Amelia berkata demikian. Matanya melirik pada objek yang tengah Amelia pandang, kemudian menggerutu kesal dalam hati.

Mau sekelompok sama dia atau Nada sama aja! Toh, ujungnya mereka juga bakalan satu kelompok, monolognya dalam hati.

Suara sepatu yang terdengar mendekat membuat keduanya menoleh dengan serentak. Virda memainkan rambut panjangnya dengan dagu terangkat. Ketika sampai di meja Shafa, gadis itu menyerahkan kertas berisi daftar nama anggota kelompok.

"Lo satu kelompok sama Nada," ucap Virda dengan senyuman yang terlihat menyebalkan. Shafa tersenyum, meski dalam hati memberikan seribu sumpah serapah untuk gadis-gadis itu.

___

PancaronaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang