ma.ni.pu.la.si: 12

23 7 36
                                    

⭐Now playing: Jangan Salahkan Hijabku — Shohibatussaufa⭐

"Ayo dobrak!"

Seruan antusias Alzam yang sungguh tidak berotak itu membuat Zafira mendengkus singkat. Iya. Tanpa perlu membahasakan maksudnya dengan detail, Alzam dan Nazifa langsung menyadari apa yang dipikirkan Zafira lewat lirikan sudut matanya. Ruangan rahasia dengan pintu aneh yang isinya tidak diketahui siswa mana pun. Kini, pintu tak berdosa itu sedang menghadapi Alzam yang semangat sekali menghantamkan tubuhnya sendiri hingga sedikit terpelanting ke belakang karena gaya inersia yang ada.

Setelah kehilangan harga dirinya sebagai satu-satunya makhluk berjenis laki-laki di sana—oh, tidak. Menurut Zafi, lelaki itu memang sudah tidak memiliki harga diri sejak awal—Alzam pun menyugar rambut poninya sok keren. Napas kuat diembuskannya kencang-kencang. Alzam sibuk sekali melompat-lompat kecil seraya mengacungkan kepalan tangan, bagai seorang petinju yang sedang berancang-ancang menyerang musuh. "Mari, pejuang. Dengan ini, saya, Alzam Nugraha, maju demi menjadi mujahid kesayangan Ayang Zifa!"

Teriakan membara itu diakhiri keluhan Alzam yang mengaduh pelan karena kelingkingnya terbentur dinding di bawah bingkai pintu dengan mantap. Muak menghadapi semua kekonyolan di hadapannya, lekas saja Zafi angkat suara. "Kita tidak bisa seenaknya. Perlu perizinan Pembina juga kesepakatan bersama. Haitsam harus diberitahu lebih dulu soal ini. Mendobrak pintu bukanlah solusi yang keren." Sebelum Alzam kembali melakukan hal bodoh, lekas-lekas Zafira menambahkan, "Dan lagi, pintu itu dibuka ke luar. Harusnya ditarik, bukan didorong."

Lho ... lantas untuk apa Alzam membenturkan badannya berulang kali ke bingkai pintu, sejak tadi? Oh, ya! Meski otaknya serupa tong kosong, tentu Alzam lebih memilih untuk nyaring bunyinya, dong. "Kata siapa? Kita, kan, belum pernah lihat pintunya dibuka. Gimana, sih, Zaf? Kalau kamu jadi tokoh utama di cerita fiksi, pasti pembaca udah protes penulisnya karena bikin plot hole begitu. Wooo! Enggak keren."

"Logika aja," sambar Zafira, tak terima dikatai begitu. Kedua tangannya terlipat di depan dada, memasang mode garang seperti biasa. "Kalau diamati dengan teliti, kita bisa tahu bahwa ruangan rahasia di balik pintu ini hanya berupa ruangan sempit. Menurut rasionalitasku yang mungkin terdengar bagai plot hole bagi kamu, si pembaca yang berpikirnya paling kritis, tidak akan ada orang yang memasang pintu didorong ke dalam, jika ruangannya terbilang sempit. Menghabiskan ruang dan tidak efisien."

Kalah telak. Walau statement Zafira belum bisa dinyatakan seratus persen akurat, Alzam tak memiliki argumen lain yang lebih baik. Ya sudahlah. Apa boleh buat. Alzam mengangkat bahunya, tak mau lagi peduli soal ke arah mana pintu ini dibuka. Seolah melupakan kenyataan bahwa dirinya baru saja mengolok-olok Zafira sok tahu, Alzam malah nyengir lebar tanpa dosa. "Ayo, telepon Haitsam!"

Selagi pembicaraan telepon berlangsung, Nazifa dan Zafira melanjutkan kegiatan mereka yang pada awalnya memang hanya sedang piket masjid seperti biasa. Nazifa sudah membereskan segala tetek bengek yang ada di rak dan lemari masjid sejak Zafira masih sibuk berdebat sengit dengan Alzam. Saat ini, keduanya asyik menggulung karpet dan menyapukan lantai, sementara Alzam sedang pergi ke kantin untuk memalak es batu di kulkas Om Juy, sekalian menunggu jawaban Haitsam yang sedang membicarakan usulan mereka dengan Pak Adnan di ruang guru ikhwan.

Masjid sudah bersih. Biasanya, piket masjid tidak perlu sampai menggulung karpet dan menyapukan lantai, mengingat ruangannya yang memang cukup luas. Toh, setiap Jumat dalam dua pekan sekali, selalu ada kegiatan tandzif¹ akbar, di mana seluruh anggota Rohis membersihkan masjid sampai mengepel lantai, membersihkan karpet, dan menyikat tempat wudu. Akan tetapi, Zafi-Zifa memanglah beda. Terlalu rajin. 

Setelah pekerjaan selesai dan dipenuhi ketenangan, baru saja Zafi-Zifa duduk di atas karpet yang sudah digelar kembali untuk rehat walau sejenak, datanglah Alzam dengan sebuah gelas plastik penuh es batu, hasil pengangkutannya dari misi menginvasi kulkas Om Juy. Masjid jadi riuh oleh suara renyah dari gigi Alzam yang menggigiti es batu sebesar kepalan tangan anak kecil. Menyebalkan. Zafira mengernyitkan kening melihatnya.

Manipulasi [Open PO]Where stories live. Discover now