ma.ni.pu.la.si: 08

68 20 140
                                    

⭐Now playing: Yumkin [Mungkin - Arab Version]⭐

Sunyi mengisi. Kesenyapan yang terasa ganjil di langit-langit kelas tidak lekas membuat Zafira mengurungkan pertanyaannya. Berkedip saja tidak. Kedua manik hitam legam itu tak jua melepaskan diri dari figur Pak Adnan di meja guru, sementara anak-anak lainnya mematung di tempat sembari melirik Zafira, tak percaya. Berani sekali anak itu. Tanpa ada basa-basi, pula. Tidak bisakah pertanyaannya diolah sedemikian rupa supaya tidak terdengar begitu memojokkan?

Sesaat kemudian, bisik-bisik anak Rohis Ruwada mulai mengudara. Meski beberapa pasang mata menatapnya dengan waswas, terutama Zafira yang menyorotkan kekokohan, Adnan hanya membalasnya dengan mengulas senyuman lebar. "Uang infak, ya ... iya. Uang infak selalu Bapak donasikan kembali kepada yang membutuhkan."

"Yang membutuhkan itu seperti apa, Pak? Contoh yang lebih konkretnya," sahut Zafira, dengan posisi duduk yang selalu saja tegak sempurna. Di sampingnya, Nazifa menyenggol lengan saudara kembarnya. Anak itu kapan takutnya, sih? Kan, bisa dibicarakan dulu dengan Nazifa, sebelumnya. Diskusi dulu, biar Nazifa bisa mengerem Zafira dan lebih terkendali di saat beraksi begini ....

"Ya, yang membutuhkan." Pak Adnan membasahi bibir bawahnya. Tatapan itu tampak begitu malas dilayangkan pada Zafira, tetapi kedua sudut bibirnya terus terkembang, menyuarakan hal sebaliknya. "Biasanya Bapak fokuskan pada panti jompo dan panti asuhan. Bapak ini memang berteman dekat dengan beberapa pengurus panti di Tasikmalaya. Jadi, ya ... tinggal sat set sat set."

Belum juga puas, Zafira kembali angkat bicara. "Bagaimana kalau uang infak itu difokuskan pada perbaikan Masjid Ruwada saja, Pak? Bukankah salah satu visi Rohis ini untuk memfasilitasi proses pendekatan siswa terhadap Rabb-nya? In syaa Allah, bisa lebih terasa manfaatnya, terutama bagi anak Ruwada yang memiliki peran penting dalam berjalannya infak ini."

"Masjid kita tidak kekurangan perlengkapan, kok," sambar Adnan. Pria menjelang usia kepala empat itu berdeham singkat, lantas mencondongkan badannya ke depan. "Hanya karena letaknya di pojokan koridor, jadi kurang pencahayaan. Menurut Bapak, masalah di masjid kita itu karena kurang rapi. Coba kalau mukena dan alat salat lainnya dibenahi sebaik mungkin di lemari. Pasti lebih nyaman. Dan itulah tugas Rohis."

Detik berikutnya, Pak Adnan masih terus bicara panjang lebar di depan sana. Akan tetapi, tak ada satu kata pun yang dapat ditangkap indra pendengaran Zafira saat ini. Kedua telinganya seolah sudah disumbat dengan blokade tak terlihat, membuat anak perempuan itu hanya fokus dengan suara-suara di benaknya. Zafira menundukkan kepala. Netra hitam legamnya kini menelusuri permukaan atas meja yang memang didekatkan dengan meja Nazifa.

Belum ... belum saatnya.

"Ya, kurang lebih begitu saja untuk Perayaan Hari Besar Islam. Karena termasuk ke dalam program kategori jangka panjang, cukup sudah perencanaan gambaran umumnya. Untuk selebihnya bisa kita bahas lagi ketika bulan Rajab sudah dekat. Sebelum rapat ditutup, ada yang mau ditanyakan terlebih dahulu?" Tatapan tajam Adnan terarah sempurna pada Zafira yang masih menunduk. Matanya memicing.

Menyadari hal tersebut, Nazifa yang ikut merasa terintimidasi karena persis berada di sebelah Zafira, kini langsung menyenggol lengan saudara kembarnya itu dengan keras. "Masih mau nanya, enggak?" bisik Nazifa dengan kepala yang juga tertunduk, ciut, tetapi masih berusaha memberitahu Zafira yang sepertinya sedang tenggelam dalam dunianya sendiri.

Sahutan 'tidak' sudah mengudara sejak tadi. Akan tetapi, tatapan Adnan masih mengunci Zafira seorang. Ruang kelas XI MIPA-1 kembali sunyi. Zafira pun tersadar, lalu mengangkat kepalanya, beradu tatap dengan Adnan. Detik itulah kedua sudut bibir Adnan tertarik ke atas. Lekas-lekas Zafira menggeleng. Pertemuan pun benar-benar diakhiri.

Manipulasi [Open PO]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora