ma.ni.pu.la.si: 06

63 19 113
                                    

⭐Now playing: Sakha — Rendahkan Hati⭐

Saling mengenal dan selalu dibersamakan dalam organisasi yang sama selama dua tahun ini, tidak lantas membuat Zafira mengetahui semua tentang Hilwa seutuhnya. Pengamatan Zafira pun dibatasi oleh kenyataan bahwa mereka tinggal di kobong berbeda. Hilwa di Kobong Syam, Zafira di Madinah.

Frekuensi interaksi keduanya di kelas dan di Rohis pun tidak begitu sering. Kebanyakan hanya didasari adanya tugas kelompok atau program kerja yang melibatkan Hilwa dan Zafira. Cukup sampai di sana. Selebihnya, Hilwa sibuk dengan dirinya sendiri, dan Zafira tidak memiliki alasan untuk bercengkerama dengan teman sekelasnya itu.

Oh, baiklah. Zafira memang tidak memiliki teman yang benar-benar dekat, mengingat kepribadiannya yang hanya bertingkah seperlunya saja. Akan tetapi, tidak dengan anak Kobong Madinah lainnya. Rosi, Yasna, dan Nazifa. Ketiganya selalu merecoki Zafira, entah dengan menjahilinya, atau ogah-ogahan mengikuti jadwal kegiatan pesantren, yang otomatis membuat Zafira naik pitam dan lebih banyak angkat suara, meski hanya untuk mengomeli mereka.

Namun, semua itu tidak berlaku bagi Hilwa yang terbilang cukup pendiam. Hilwa adalah tipikal teman yang tenang dan tidak suka mencari masalah. Dia ramah pada semua orang, hingga tidak memiliki sahabat dekat, karena bagi Hilwa, semua yang dikenal adalah temannya. Benar. Semuanya teman. Tidak ada yang 'lebih' untuk dilabeli sebagai sahabat. Mungkin karena itulah Zafira seringkali melihatnya bagai orang kesepian.

Akan tetapi, dari berbagai fakta soal dinding transparan yang terbangun dalam diri Hilwa tersebut, baru sekarang Zafira melihat sisi Hilwa yang ini. Kedua alis tebalnya mengerut, membingkai kening yang mengernyit dalam. Manik cokelat madu itu menyorotkan kemarahan yang tidak bisa terungkap jelas. Sayu sekaligus membara. Sendu sekaligus tak terima. Tanpa sadar, Hilwa terus menggigiti bibirnya yang bergetar samar.

Iya. Hilwa memang pendiam sejak awal, tetapi aura yang dikeluarkannya kali ini tampak begitu berbeda. Zafira terdiam sejenak di posisinya, tepat di samping bangku Hilwa. Sudut mata Zafira melirik tangan Hilwa yang terkepal erat di atas paha. Rok abunya bahkan tampak diremas kuat, jadi kusut. Tatapan Hilwa terkunci pada permukaan meja, tetapi tidak menyadari Zafira yang terus mengamatinya dan memutuskan mendekat.

"Hil ... ada apa?"

Anak perempuan itu tersentak. Patah-patah, kepalanya menoleh untuk melihat Zafira. Seutas senyuman di bibir pucat itu terkembang lebar. Hilwa menggeleng-geleng. "Enggak. Enggak apa-apa, kok. Kenapa, Zaf?"

Balik bertanya ... itu adalah salah satu mekanisme pertahanan diri untuk tidak ditanyai, 'kan? Suatu trik yang sering Zafira jumpai. Jika tidak mau ditanyai lebih lanjut, pastikan kamu yang harus bertanya lebih dulu. Terkesan sangat tergesa dan ... seolah menyatakan bahwa dirinya memang terancam jika terus dilayangkan suatu pertanyaan oleh seseorang. Zafira berdeham, menarik kesimpulan. Ada sesuatu yang Hilwa sembunyikan.

Zafira bukanlah Nazifa yang bisa berbasa-basi hanya untuk membuat suasana sekitar lebih nyaman dan mencair. Tidak. Salah sekali jika mengharapkan hal semacam itu pada perempuan tanpa perasaan seperti Zafira. Setelah menyadari bahwa Hilwa tidak akan mau angkat bicara lebih lanjut lagi, Zafira pun menjawab singkat, "Tidak ada. Lupakan."

Di meja guru, Ustaz Zaki sudah berdeham lebih dari satu kali, mengisyaratkan sebuah teguran bahwa ini waktunya menghafal, bukan asyik berbincang. Zafira pun melanjutkan langkahnya ke bangku di baris kedua yang bersisian dengan dinding. Mari hilangkan berbagai pemikiran yang tidak bisa diusir belakangan ini dari benaknya. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Tak lama, Zafira sudah tenggelam dalam ayat-ayat cinta-Nya. Murajaah, lalu mengingat kembali yang sudah dihafalnya sejak pekan lalu untuk disetorkan pada Ustaz Zaki.

Manipulasi [Open PO]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora