ma.ni.pu.la.si: 03

80 25 151
                                    

⭐Now playing: Tashna'ul Mustahil — Hamza Namira & Humood⭐

"Woy, Zaf! Udahan, dong. Udah mau jam Bahasa Indonesia. Kita belum setoran, nih!"

Demi mendengar seruan-seruan sarat akan emosi dari balik punggungnya, Zafira lekas memejamkan mata seraya mengembuskan napas berat. Duh! Ada apa, sih, dengan dirinya hari ini? Sewaktu mencatat infak siswa, berbincang dengan Kak Mila dan Kak Citra, bahkan sehabis setoran hafalan begini ... melamun terus! Rasanya Zafira sedang tidak berpijak di bumi, saat ini.

Di hadapan Zafira—hanya ada meja guru sebagai pembatas—Ustazah Qonita terkikik geli. Sesaat, wajahnya tampak lebih cerah, meski bibir tipis Qonita masih tampak begitu pucat.

Nazifa menoleh ke belakang untuk mendapati raut kesal teman sekelasnya. Nazifa nyengir lebar, lantas mengalunkan tawa yang dipaksakan. "Ha-ha-ha-ha. Tenang, Guys. Aku duluan, ya. Biar aku usir orang ini." Detik berikutnya, Nazifa mendorong bahu Zafira dan melambaikan tangan sebagai tanda pengusiran. "Aku mau ziadah, ya, Ustazah. Bismillah."

Gemuruh massa akhirnya mereda ketika Nazifa mulai membaca taawuz dan melafalkan hafalannya yang baru ditambah tadi pagi, sehabis tahajud. Berbeda dengan Zafira yang selalu menyiapkan hafalannya sejak jauh-jauh hari, Nazifa adalah tipikal siswa yang menghafal sewaktu qiyamul lail¹, tepat di hari yang sama dengan jadwalnya menyetorkan hafalan.

Zafira sudah kembali ke bangkunya yang berada di dekat dinding, baris kedua. Ditatapnya kedua sepatu hitam yang nyaris segaris dengan panjang rok Zafira, lamat-lamat. Zafira tenggelam dalam pikirannya sendiri. Biasanya, waktu senggang sehabis setoran ini selalu Zafira gunakan untuk kembali menghafal atau sekadar murajaah. Namun, hari ini seolah banyak sekali hal yang jahil mendistraksi otaknya terus-menerus.

Bising. Kepalanya tak bisa disuruh diam. Zafira membenamkan kepala pada lipatan tangan di atas meja. Hingga jam pelajaran tahfiz usai, yang dapat ditangkap indra pendengaran Zafira hanyalah seisi kelas yang kembali ramai setelah kedatangan anak laki-laki dari masjid.

"Zafi! Karya tulis ilmiah kamu mau ambil topik di bidang apa? IPA?" tanya Nazifa seraya mengguncangkan pundak Zafira, pelan, tetapi sukses mengambil alih keseluruhan atensi Zafira.

Zafira mengangkat kepala dan mengetuk-ngetuknya dengan cukup keras, memaksa pikiran ramainya untuk minggir meski sejenak. "Belum tahu. Belum ada instruksi lebih lanjut, 'kan?"

"Daffa! Kamu enggak infak lagi, ya?"

Belum sempat Zafi-Zifa meneruskan pembicaraan mereka mengenai tugas akhir kelas sebelas, perhatian keduanya sudah lebih dulu teralihkan pada kalimat yang diserukan di dekat bingkai pintu. Suara barusan itu bersumber dari Hilwa, teman sekelas mereka yang juga merupakan anggota Rohis.

Tunggu. Kertas catatan infak siswa ....

Tadi, yang memegang catatan infak untuk kelas XI MIPA-1 adalah Zafira, dan ia sudah menyerahkannya pada Kak Mila, Bendahara Rohis di periode ini. Kenapa tiba-tiba jadi ada di tangan Hilwa?

"Infak?" Daffa, yang baru saja tiba di kelas dan membuka sepatu, kini bangkit dari jongkoknya, lalu menatap tajam ke arah Hilwa dengan kedua tangan terlipat di depan dada. "Aku mau tanya lebih dulu. Enggak usah ke kamu, deh. Yang merasa anak Rohis aja."

Nazifa tersentak ketika Daffa tiba-tiba menoleh ke arahnya bagaikan jump scare di film paling horor yang pernah ada. Lebih tepatnya, ke arah Nazifa dan Zafira yang memang sedang memperhatikan Daffa sedari tadi. Akan tetapi, tidak ada perubahan berarti dari air muka Zafira. Datar, tenang, tak terpengaruh sedikit pun.

Manipulasi [Open PO]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang