RakSa 19. Gimana kabarnya, Ta

82 9 6
                                    

Pertemuannya dengan Iksan memang cukup singkat, tetapi efek yang tercipta setelahnya cukup membekas sampai melangkah pun rasanya sangat berat. Aksa hanya terkejut sebenarnya, bukan karena hal lain. Namun, tubuh itu lebih dulu menghalangi langkahnya untuk pergi ke sekolah Ata.

Awalnya Aksa menolak untuk berbincang walau sebentar. Namun, ia memutuskan tetap di sana untuk mendengarkan semua omong kosong Iksan yang menyalahkan Buna dengan begitu percaya diri. Pria itu seolah yakin, Buna hanya orang bodoh yang mudah dimanfaatkan. Hingga titik di mana Aksa benar-benar akan semuanya. Ia pun melangkah sedikit mendekat membuat napas keduanya saling beradu.

"Saya percaya sama Buna. Buna nggak akan melakukan kebodohan sampai harus merelakan sebagian hartanya jatuh ke tangan laki-laki serakah kayak Om."

"Percaya atau tidak, kamu sendiri ikut bersama saya menjadi bawahan saya, kan? Ayolah Aksa, adik kamu akan baik-baik saja bersama saya."

Aksa menghela napasnya sebelum kembali menjawab, ia pun memalingkan wajah sebentar kemudian menunduk sejenak barulah, mendongak menatap mata Iksan dari balik kacamata hitamnya.

"Sampai kapan pun, saya nggak pernah percaya sama Om. Saya memang anak kecil di mata Om, masih ingusan. Tapi Saya bukan orang bodoh yang bisa Om perbudak sesuka hati. Saya melakukannya untuk Ata. Bukan karena Om."

Iksan terkekeh, lalu menunjuk ke arah Aksa seolah memberi peringatan atas tindakan yang Aksa lakukan. Tatap mata Aksa masih belum beralih, tubuh tinggi Iksan membuat lelaki itu sedikit menunduk saat menatapnya.

"Bodoh. Setelah ini pun kamu masih yakin, kalau kalian akan bersama? Bagaimana caranya? Rumah kumuh dan gedung reot yang kamu anggap sebagai kafe itu bisa jadi jaminannya? Mustahil!"

"Setidaknya proses hukum bisa menjadi tempat peradilan yang tepat, untuk orang yang tidak bermoral seperti Anda. Saya yakin, pernikahan itu juga terpaksa karena ancaman, iya, kan?"

Setelah mengatakannya Aksa pun memilih pergi meninggalkan Iksan yang masih diam di tempatnya. Lelaki itu terlihat sangat kesal karena Aksa telah membuka sedikit rahasia yang selama ini disembunyikannya rapat-rapat.

"Sial! Bagaimana bisa?"

Gerutu Iksan, ia seperti kehilangan akal setelah berbicara dengan Aksa yang terlihat begitu tenang menanggapi semua  ucapannya. Ia tidak melihat sedikitpun keraguan dari mata Aksa. Yang Iksan lihat hanya rasa percaya diri Aksa yang kuat untuk mempertahankan Ata agar tetap bersama.

Iksan sangat kesal, bahkan saat ia masuk ke dalam mobil dan pergi, rasa kesalnya justru bercampur menjadi satu dengan amarah. Ia rela meninggalkan pekerjaannya hanya karena selembar kertas yang harusnya ditanda tangani oleh Aksa. Nyatanya, isi dokumen yang diberikan oleh Ata itu hanya amplop dengan selembar kertas berukuran sedang yang bertuliskan 'Ayah tolong jangan benci Mas Aksa' Iksan benar-benar bingung untuk beberapa hal.

"Kenapa anak itu sangat mirip seperti Dina? Bagaimana mungkin aku menolak permintaannya?" Iksan merasa sedang dipermainkan oleh putranya sendiri, terlebih saat anak itu menyerahkan amplop cokelat padanya, tak ada rasa cemas sama sekali.

Sebenarnya apa yang Ata pikirkan?

Lagi-lagi pertanyaan itu muncul. Sejak kemarin Iksan merasa ada yang salah dengan dirinya. Ia seperti berada dalam dunia yang berbeda dalam waktu yang sama. Di sisi lain ada Dina yang beberapa hari ini datang dan mengusiknya dalam mimpi. Di sisi lainnya ada Ata, darah dagingnya sendiri.

Namun, dari semua yang Iksan rasakan selama berhari-hari sosok Aksa selalu melintas dalam pikirannya. Bahkan ketika sedang bekerja pun semua ucapan Aksa justru seperti sihir yang begitu mengganggu. Iksan seperti terombang-ambing dalam pikirannya setiap kali melihat Aksa.

UNTUK ATA [SELESAI) ✅Where stories live. Discover now