RakSa 6. Keputusannya Gimana?

127 30 9
                                    

Satu hari tidak berisik, mungkin Ata akan mengubah namanya menjadi Anita. Anak tetangga yang memang pendiam dan santun. Sesekali Aksa mengajak gadis itu mengobrol ketika bertemu perihal sekolah, kebetulan Anita juga salah satu teman di sekolah Ata. Tidak heran kalau Ata sangat jengkel jika dirinya disamakan dengan gadis manis yang memiliki kepribadian unik itu.

Saat kembali ke rumah Aksa tidak lagi bisa istirahat dengan damai. Bukan karena pusingnya yang mulai mereda atau bising mesin mobil tetangga yang digas berkali-kali di depan rumahnya. Aksa dibuat kerepotan karena Ata pulang dengan keadaan yang tidak baik. Rambut yang selalu disisir rapi itu tampak berantakkan, bahkan seragam sekolahnya sudah tidak bisa digambarkan lagi bagaimana kotornya.

Ingin sekali Aksa menangis saat melihat penampilan adiknya setiap kali pulang dengan keadaan berantakkan, namun Aksa tidak pernah bisa meninggikan suara di saat suasana hati adiknya tidak baik-baik saja.

Hela napas lelah telah berulang kali terlihat oleh Ata saat kakaknya kembali menatap ke arahnya. Ia hanya memandang kasihan pada dirinya yang terkesan seperti gelandangan, mulai dari ujung kaki hingga kepala, menyedihkan.

"Lo mau ngaku atau gue kurangin uang jajannya?" Ata menggeleng kuat, ia tidak bisa mendengar kata pengurangan disaat dirinya sedang membutuhkan. Ata pun berlutut di depan Aksa yang sedang duduk di kursi santai yang diletakkan dekat dengan kamarnya.

"Jangan dikurangin, masa uang jajannya dikurangin. Nanti gue nggak bisa kasih  asupan  buat pasukan gue lagi dong, Mas?"

"Gue nggak peduli. Yang bohong siapa? Yang nakal siapa? Harusnya berani berbuat, berani bertanggung jawab."

Aksa hanya tidak suka kalau adiknya berbohong, bukan ingin membuat adiknya tersiksa dengan ancaman. Jujur, sebenarnya Aksa juga tidak suka memberi hukuman meski kesalahan yang dibuat Ata cukup serius. Ia akan selalu merasa bersalah jika melakukannya.

"Ah! Bang Dirli, nih, ngadu-ngadu, males banget!"  Protes ata justru terkesan seperti seorang anak kecil yang merajuk karena tidak mendapat apa yang diinginkannya.

Aksa pun mendongak saat Ata  berdiri di depannya sambil mengepalkan kedua tangan di sisi kanan dan kirinya. Di sana Aksa bisa melihat ada keraguan untuk berbicara padahal, Aksa tidak menekan atau memaksa untuk berterus terang. Ia hanya mengajukan pertanyaan sederhana perihal kedatangannya yang amat sangat tidak layak dipandang.

"Mas, gue izin mau nginep di rumah Ayah, boleh?"

"Kenapa?"

Sejenak Ata terdiam, ia tidak yakin kalau alasannya bukan hanya sekadar menginap atau rindu dengan pria yang disebut sebagai 'ayah' oleh Ata.  Aksa juga tidak banyak bertanya, ia mau Ata mengatakan kebeneran tentang obrolannya bersama Dirli saat di caffe.

Namun, sekali lagi, Aksa tidak menemukan tanda-tanda kalau apa yang ia ingin akan keluar dari mulut Ata. Ia terus memandangi kedua kelopak mata yang sedikit menghitam itu bergerak, bibir yang bergetar, serta kedua tangan yang terkepal kuat mulai melonggar.

"Maaf gue bohong."

Aksa pun menunduk sambil mendengarkan semua penjelasan Ata dengan tenang. Sampai penjelasan berakhir, barulah Aksa .kembali mengangkat kepalanya, menatap sendu ke arah Ata yang terus menunduk dengan air mata yang sudah mengalir bebas membasahi kedua pipinya.

Perlahan kedua tangan Aksa terulur untuk menggenggam kedua tangan adiknya. Aksa tidak yakin keputusannya akan menjadi seperti apa nanti. Ia hanya tidak mau apa yang sudah diputuskan justru membuatnya menyesal.

"Lihat gue, Ta." Mendengar Aksa, perlahan Ata pun mengangkat kepalanya, di sana Aksa bisa melihat sembab dikedua mata Ata.

Ia juga tidak bisa berdiam diri di tempat duduknya. Meski masih sedikit lemas, Aksa memaksakan dirinya untuk tetap kuat terlebih bila berhadapan dengan anak manja seperti Ata.

UNTUK ATA [SELESAI) ✅Where stories live. Discover now