RakSa 16. Luka dilembar pertama.

78 11 8
                                    

Pertama kalinya Aksa merasa lemah dengan air mata Ata. Anak itu menangis sampai sesegukan, ketika ditanya hanya menjawab dengan gelengan kepala. Aksa hampir gila karena adiknya yang terus menempel sejak kejadian mimpi buruk yang dialaminya semalam. Sungguh, Aksa ingin menangis saja rasanya.

Ia tidak tahan melihat air mata Ata walau anak itu terus menyangkal kalau dirinya tidak menangis. Bahkan saat bangun tidur tadi pun, yang dicari pertama kali adalah Aksa. Padahal, Aksa ada di sebelahnya tidur sambil memeluk guling. Sementara boneka besar karakter pinguin itu dilempar olehnya demi Aksa tidak pergi ke manapun.

"Mas, hari ini boleh libur, kan?" tanyanya. Ingin sekali menarik telinga Ata, tetapi Aksa akan teringat ceramah Bu Rum ketika mereka bertengkar dulu.

Alhasil, Aksa memilih diam saat Bu Rum menasehatinya. Sedangkan Ata dibiarkan bermain dengan ikan cupang yang ia beli.
Kini, rengek yang sama terjadi lagi.  Meskipun Aksa sudah mengatakannya betkali-kali, rasanya hanya akan didengar sesaat lalu kembali ke pengaturan awal.

"Mas, boleh, ya?" Aksa mendengus, ia pun menunduk sejenak memikirkan jawaban agar tidak menyinggung perasaan adiknya. Belakangan Aksa merasa kalau Ata sedikit sensitif sering kali berpikir negatif tentang banyak hal. Belum lagi, emosi anak itu terkadang membuat Aksa harus kembali menabung stok sabarnya.

Terkadang Aksa heran bila dilihat, tinggi dengan 165 sentimeter untuk anak laki-laki seusianya bisa dikatakan lumayan. Namun, Ata selalu merasa dirinya masih terlihat mungil diantara teman-temannya yang memiliki postur tubuh jauh lebih tinggi dan ideal.

Sesekali Aksa juga bertanya tentang kegiatan apa saja yang membuat adiknya pulang dengan wajah ditekuk, bibir dikerucutkan seperti bebek. Tak lupa, seragam sekolah yang nampak lusuh dengan bercak cokelat dibagian lengannya.

Setidaknya hari ini Aksa masih bisa mendengar rengek menyebalkan Ata, walaupun Aksa sudah jengkel sebenarnya. Ia pun menatap adiknya dengan ramah sambil tersenyum.

"Boleh, ya?" Aksa langsung menggeleng,  setelahnya.  Bahkan senyum di wajah Aksa masih terlihat, walaupun keputusannya tidak sesuai dengan ekspetasi Ata.

"Dih! Sekali doang libur, Mas."

"Ata, kemarin, kan, udah libur. Masa mau libur lagi? Kalau lo meliburkan diri, apa kata Pak Heri? Bisa-bisa gue ditegur  suruh ke sekolah, lo mau?"

Aksa yakin kalau ucapannya sudah benar, ia tidak ingin mendengar alsan yang sama demi meliburkan diri. Semalam saja Aksa kesal karena Ata terus mengoceh  padahal, tubuhnya sudah sangat lelah dan butuh istirahat. Namun, Ata tidak membiarkannya untuk memejam walau sebentar.

"Mas Aksa-- Mas baik banget, deh, sekali aja, kok," pinta Ata. Walau sudah menolak, Aksa tetap pada pendiriannya. Tidak akan pernah mengizinkan dengan alasan apa pun kecuali terdesak. 

"Enggak. Ngerti bahasa manusia, kan?"

"Kok, lo gitu, sih?"

"Sori. Tapi gue capek banget, kalau lo bolos, lo bisa nggak naik kelas nanti. Kalau sakit atau urgent mungkin masih bisa dimalum, tapi kalau bolos?"

Sejenak Aksa terdiam, ia sudah lelah, sungguh. Bicara dengan Ata memang butuh ektra tenaga dan jawaban yang masuk akal, bukan dengan emosi atau kekerasan. Aksa jauga masih berdiri di sebelah Ata, ketika mengatakannya. Ia tidak lagi menoleh bahkan pandangannya beralih pada piring kosong yang diletakkan di atas meja makan.

Ketika bangun tadi, Aksa langsung bergegas ke dapur untuk menyiapkan sarapan pagi, walau masakannya sederhana setidaknya tidak buruk untuk lidah. Apalagi Ata yang kurang menyukai makanan pedas.

"Bolos cuma buat seneng sesaat aja, Ta.  Lo nggak perlu mikir biaya sekolah, kalau alasan lo bolos cuma karena uang bulanan yang belum dibayar. Gaji gue masih bisa buat nutupin semua kebutuhan kita, kan? Apa lo malu sama kerjaan gue?" Pelan suara Aksa saat mengatakannya membuat Ata langsung menoleh lalu memeluk kakaknya dari samping.

UNTUK ATA [SELESAI) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang