RakSa 18. Mimpi Yang Hilang

56 8 10
                                    

Lantun lagu sinfoni hitam yang selalu diputar, kali ini telah mendominasi seluruh kafe. Hal itu membuat Aksa tersiksa dalam pikirannya. Ia tidak mengerti bagaimana caranya untuk pergi sementara hatinya menolak. Jika saja Ata tidak memberikan dokumen itu, mungkin hari ini tidak akan terjadi.

Kekecewaan pelanggan, rasa malu yang dialami Dirli, dan terakhir rasa bersalahnya pada Ata karena telah bersikap dingin. Kalau saja ia menyadarinya lebih cepat, kalau saja Ata mengatakannya sejak awal— tapi sayangnya, itu hanya mimpi.

Aksa memilih pergi ke belakang gedung kafe dan duduk di salah satu kursi yang ada si sana. Ia tidak ingin terlihat rapuh di depan Dirli sebenarnya. Namun, perasaan Dirli yang cukup peka justru membuat Aksa menyerah.

Sejenak Aksa mendongak ke arah Dirli yang sudah berdiri di depannya. Entah sudah berapa lama Dirli berdiri, ia juga tidak menyadari kedatangan temannya itu. Sampai Dirli menyentuh bahunya, Aksa masih tetap diam, tapi pandangannya ia bawa ke bawah melihat ujung sepatunya yang terlihat usang.

"Kalau nggak mau cerita, it's okay. Kalau sedih, jangan ditahan. Kalau emang udah capek, istirahat. Tapi ingat, Ata juga pasti sedih sekarang, karena sikap dingin lo."

"Gue harus ngapain? Bilang ke Ata kalau sebenarnya kita nggak mungkin bisa bareng lagi, gitu? Mana bisa gue lihat dia sedih, Li."

"Seenggaknya lo udah coba buat bilang, kan? Itu cuma akal-akalan Om Iksan aja, bilang kalau Ata butuh perawatan. Padahal, niat dia emang mau misahin kalian. Kalau boleh tahu, apa isi dokumennya?"

"Tinggalin kafe dan Ata, buat bantu ngurus perusahaan dia yang ada di luar kota."

Sejenak Dirli terdiam, walau sebenarnya ia juga kesal dengan tingkah ayah tiri temannya itu. Dirli sangat mengenal Aksa, lelaki itu tidak akan pernah bertindak gegabah sebelum memikirkannya.

"Kenapa harus lo?" tanya Dirli tiba-tiba, membuat Aksa kembali menatap Dirli yang tampak kesal.

"Karena gue anaknya–"

"Tiri. Nggak ada hubungan darah sama sekali. Itu karena Tante Dina sama Om Iksan nikah juga terpaksa! Inget Sa, Om Iksan itu licik, lo mau mimpi lo sama Ata hilang?"

Aksa tidak ingin mengungkit kejadian masa lalu, tetapi memorinya selalu melintas di waktu yang tidak tepat. Kalau saja Aksa tahu tentang Buna yang menikah lagi, hari ini tak akan terjadi. Ia juga tak akan menyakiti Ata. Sejak dulu Aksa selalu bertanya, kenapa ayah barunya adalah Iksan? Kenapa bukan orang lain saja? Tanpa Iksan, ia juga akan memiliki Ata, kan?

Nyatanya, semua pertanyaan itu tidak akan pernah terjawab sampai kapan pun. Yang Aksa tahu, Buna menikah karena Buna takut sendirian, karena Buna tidak bisa hidup sendiri. Namun, menikah pun bukan jalan terbaik yang Buna jalani. Selama pernikahannya saja, Buna tidak terlihat bahagia, meskipun saat itu Aksa masih sangat kecil untuk memahami kesedihan seseorang. Yang Aksa tahu, Buna hanya merindukan kakek dan nenek. Buna selalu mengatakannya sampai Aksa mulai percaya.

Hingga waktu itu tiba, Aksa tak lagi bertanya. Ia langsung memeluk tubuh Buna dengan erat. Dalam peluknya Buna hanya mengucapkan kalimat penenang agar kelak dirinya tidak mengingat kejadian kelam itu. Namun, kalimat itu seolah pudar seiring berjalannya waktu. Aksa tak lagi ingin mengingat kembali sebenarnya, tetapi ucapan Iksan berhasil membuka luka lamanya yang telah susah payah dilupakan.

Kala itu, Aksa pernah melihat Buna berlutut di hadapan Iksan setelah pria itu mendaratkan tangan besarnya hingga meninggalkan jejak di pipi Buna yang halus. Aksa ingin sekali mendekati Buna, tetapi kakinya berat untuk melangkah ia benar-benar takut terlebih saat mendengar suara Iksan yang keras membentak Buna. Aksa memilih bersembunyi di bawah kolong meja sambil mengintip di sela-sela bawah meja tersebut. Dari sana Aksa bisa melihat, betapa takutnya Buna.

UNTUK ATA [SELESAI) ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang