Sadrina Aufa Kinaya

16 4 0
                                    

"Ibu, boleh ya bu. Sekali ini aja, please"

Santi menghela nafas melihat layar handphone yang tengah menampilkan wajah anak bungsunya, anak itu dari kemarin tak berhenti terus-terusan menelfonnya sambil memohon agar keinginannya dituruti.

"Ibu nggak berani kasi izin rin, kamu tau sendiri bapak kamu gimana"

"Ibu tolongin rina bilang ke bapak, ya bu. Rina disana nggak lama kok, lagipula rina perginya ramean terus ada papanya cinta juga yang bakal anterin kita. Ibu gausah khawatir"

Gadis berambut coklat sepunggung itu menatap ibunya penuh harap. Dia sangat heran dengan kedua orang tuanya. Disaat anak lain yang sepantaran dengannya bisa pergi kemana saja dan kapan saja dengan bebas, tapi hal itu tidak terjadi dengan dirinya. Orang tuanya selalu memperlakukan dia layaknya anak usia 10 tahun. Rina kan juga ingin seperti yang lain. Dia iri dengan kebebasan teman-temannya.

Sadrina Aufa Kinaya, gadis muda yang pada bulan 7 nanti akan genap berusia 20 tahun itu merupakan anak bungsu. Rina merupakan mahasiswi semester 4 jurusan bahasa dan seni. UAS telah selesai, itu artinya sebentar lagi akan memasuki waktu libur semester. Libur semester ini rina berencana untuk ikut temannya pulang kampung. Tidak hanya dia, tapi ketiga temannya yang lain juga akan ikut. Mereka sudah merencanakan ini dari jauh-jauh hari. Rina juga sudah meminta izin dari satu bulan yang lalu, tapi gadis itu tak kunjung mendapat jawaban dari orang tuannya.

"Kamu bilang sendiri aja rin, kalau ibu yang bilang nanti malah ibu yang dimarahin bapakmu. Tuh bapak baru pulang dari masjid. Kamu ngomong lah" Santi memberikan handphone-nya kepada sang suami yang sedang menyimpan sajadah dan kopiahnya.

"Nih, anakmu mau ngomong"

Rendi menatap wajah anaknya yang memelas, "Apa? Kamu mau ngomong apa?"

"Pak, rina mau minta izin..."

"Izin kemana"

Rina meneguk salvianya susah payah, ini yang dia takutkan. Bapaknya itu selalu saja begini, padahal kan rina belum selesai bicara.

"Rina mau ikut adel pulang kampung" Cicitnya pelan.

"Ngapain ikut orang pulang kampung, emangnya kamu nggak punya kampung sendiri?"

"Bukan gitu pak, rina kan juga pengen sekalian jalan-jalan disana. Rina belum pernah kesana pak. Rina perginya juga sama temen yang lain, bukan rina doang"

"Masalahnya tempat tujuan kamu itu jauh rin, kalau ada apa-apa dijalan siapa yang bakal tanggung jawab?"

Rina mendengus kesal, alasan bapaknya selalu saja seperti itu.

"Bapak tu bukannya do'ain anak yang baik baik malah bilang kayak gitu" Ucapnya dengan wajah yang teramat kesal.

"Loh, bapak bukannya do'ain kamu yang nggak baik, bapak cuman khawatir sama kamu. Bapak nggak mau kamu kenapa-kenapa. Kita nggak ada yang tau bencana bisa datang kapan aja"

Santi yang melihat perdebatan antara anak dan suaminya hanya menggeleng pelan. Dia sangat tau watak anaknya itu, rina berbeda dengan kakak-kakaknya yang lain. Jika kakak pertama rina anak menurut tanpa banyak ini itu, dan kakak kedua rina akan terus memaksa sampai keinginannya dituruti, maka rina adalah gabungan dari sifat kedua kakaknya. Ada kalanya rina akan menurut, dan ada kalanya rina akan memaksa. Tapi sepertinya untuk sekarang ini rina akan terus memaksa bapaknya agar dia diberikan izin.

"Bapak nggak usah khawatir, lagian tempatnya juga nggak jauh jauh banget kok, cuman 5 atau 6 jam-an aja kata adel"

Rina bisa melihat bapaknya yang bersandar pada sandaran kursi sambil menghembuskan asap rokoknya.

Lea, Is That You? Where stories live. Discover now